“AYOLAH SKAY ! kami sudah datang jauh-jauh untuk menjemput, masa kamu tidak mau ikut sih ?” Kata Eeng yang malam itu datang ke rumahku bersama empat orang teman lainnya.
Eeng adalah sahabatku yang seminggu lagi akan menikah, maka untuk melepas masa lajangnya ia bermaksud mengajak beberapa teman-teman untuk mengadakan perayaan dan bersenang-senang. Ia sengaja meminjam sebuah mobil milik kakaknya untuk di pakai jalan-jalan.
*****
Malam itu sekitar pukul 20:30. Seperti biasanya setiap hari aku pulang dari bekerja, setelah mampir di sebuah warung membeli beberapa keperluan untuk di rumah, seperti rokok, kopi, dan obat nyamuk dari sebuah warung, aku pun melangkah pulang ke rumah.
Setelah tiba di rumah dan baru saja aku hendak mengganti pakaian, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dan mengetuk pintu rumah. Aku pun lalu membuka pintu, ternyata yang datang adalah Eeng bersama teman-teman lainnya.
Mereka sengaja datang menjemputku untuk pergi ke puncak Bogor malam itu. Awalnya aku enggan untuk ikut, karena akau sangat merasa letih setelah dari pagi bekerja.
Tapi mereka seperti kecewa karena semua persiapan untuk pergi ke puncak telah mereka beli, seperti makanan, air minum, dan sebagainya. Aku pun sempat melihat di dalam mobil yang mereka parkir di depan rumahku, banyak berbagai makanan yang telah mereka persiapkan.
“Ayolah skay, kamu kan sohib karib dengan Eeng, masa sih Eeng mau nikah dan terakhir kali melepas masa lajangnya kamu tak perduli dan tak ikut merayakan ?” Kata si Riko temanku yang satu lagi, dia ikut membujuk agar aku ikut pergi.
Aku pun merasa tak ingin membuat mereka kecewa, dan akhirnya aku memutuskan untuk ikut pergi malam itu karena menghargai usaha mereka, malam itu kami merayakan kegembiraan sahabatku Eeng yang minggu depan akan melangsungkan akad nikah.
“Ya sudah aku ikut, kita berangkat sekarang saja sebelum aku berubah pikiran, aku pergi begini saja tak usah mandi dan tak usah ganti pakaian.” Kataku mengajak mereka untuk segera berangkat. Mereka pun senang dan kami pun segera berangkat. Sungguh mereka berhasil menculikku untuk pergi bersenang-senang malam itu.
Dengan masih mengenakan pakaian seragam kerja, aku pergi malam itu menuju puncak Bogor. Saat itu tahun 2006 aku bekerja sebagai sopir angkutan umum atau sopir angkot di Jakarta.
Entah kenapa malam itu instingku merasa ada sesuatu yang aneh, aku merasakan firasat buruk, maka di dalam mobil yang terus melaju, aku berdoa dalam hati dan berserah diri memohon perlindungan kepada tuhan untuk keselamatanku.
Di dalam mobil yang dikemudikan Eeng, aku lebih banyak diam, teman-teman sangat gembira tertawa dan bercanda, sesekali aku ikut tertawa dan berkata seperlunya saja.
Setelah cukup jauh perjalanan kami dari Jakarta menuju puncak Bogor itu, maka kami pun tiba di tempat yang dituju. Puncak bogor biasanya padat dan macet ketika hari-hari libur ataupun hari-hari besar.
Karena kami pergi pada malam hari dan bukan pada hari libur, maka jalan ke puncak Bogor cukup sepi dan lancar.
Di jalan arah mendaki menaiki puncak, kami distop oleh seorang lelaki yang menyandang sebuah gitar, entah seorang pengamen atau siapa orang itu tak tau pasti.
“Eeng stop, naikkan orang itu, dia membawa gitar dan kita bisa pinjam gitarnya buat nyanyi-nyanyi.” Kata si Riko menyuruh Eeng berhenti dan menaikkan orang yang menyetop mobil kami.
Eeng pun berhenti dan memberi tumpangan orang itu naik ke mobil.
“Mau kemana mas ?” Eeng menyapa orang itu dan kami terus melanjutkan perjalanan.
“Mau ikut senang-sanang saja om.”
“Asyeek.. kok tau kita mau bersenang-senang mas ?” Jawab Riko menyela.
“Iya dong, kalau bukan untuk bersenang-senang, mau ngapain tengah malam begini naik ke puncak ya kan ?” Jawab lelaki itu.
“Wah, mantab ! coba mainkan dulu gitarnya mas, biar kita bisa bernyanyi.” Kata Eeng kepada lelaki itu.
“Wah, Kalau main gitar di dalam mobil sepertinya kurang sip, suara gitarnya akan kalah dengan suara mesin mobil, nanti saja kita main di atas puncak.” Jawab lelaki itu menjelaskan.
“Mas orang daerah sini atau darimana mas ?” Kata si Riko bertanya.
“Saya darimana saja, dan tak tau lah mau kemana, saya ikut senang saja di mana orang-orang senang.” Jawab lelaki itu singkat.
Aku melihat lelaki itu seperti misterius, orangnya seperti tak bisa diterka. ia mengenakan sweater kupluk hitam, sebagian wajahnya tertutup kupluk yang menutupi kepalanya.
Malam pun terus merayap di puncak bukit yang dingin. Sepanjang jalan menuju puncak banyak terlihat warung dan berbagai jualan di tepi jalan yang berkelok-kelok mendaki.
Sekitar tengah malam, kami pun tiba di atas puncak pass. Setelah memarkir mobil, kami pun memesan kopi dan mulai melihat-lihat suasana dan pemandangan sekitar. Tampak indahnnya perkebunan teh yang terhampar di kaki bukit, dan gemerlap lampu dari perkampungan yang ada di lereng bukit.
Kopi panas yang kami pesan pun seketika menjadi dingin karena memang suhu di atas puncak itu sangat dingin.
Riko pun mulai bernyanyi di iringi lelaki tadi yang memainkan gitar. Teman yang lain pun coba menggelar lembaran kardus untuk bersantai dan membuka beberapa makanan dan minuman. Suasana malam itu cukup happy. Aku hanya ikut menikmati situasi saja.
Waktu berlalu hingga mendekati dini hari, setelah cukup puas bersenang-senang dan menikmati malam di atas puncak, kami pun sepakat untuk pulang.
Maka mobil kami pun segera berlalu dari tempat itu dan meluncur mengikuti jalan berkelok dan menurun. Suhu yang dingin dan lelah membuat rasa kantuk tak mampu kutahan, Eeng melihatku yang mulai akan tertidur dan ia sempat memperingatkan dengan berkata.
“Skay kalau mau tidur safetybelt itu dipasang.” Katanya.
Aku pun menyadari lupa memasang sabuk pengaman atau safetybelt. Aku duduk di depan di samping Eeng yang sedang mengemudi.
Akupun segera memasang sabuk pengaman yang ada di mobil itu.
“Makasih Eng, bawa mobilnya jangan ngebut-ngebut, ingat kamu minggu depan mau nikah.” Kataku menyuruh Eeng mengemudikan mobil secara santai saja. Setelah kami ngobrol sebentar dan akhirnya aku pun tertidur.
Entah berapa lama aku tertidur dan aku pun terbangun.
Aku coba membuka kedua mata, tapi kok aku sudah berada di tempat yang berbeda. Aku sudah berada di sebuah bangku panjang di depan ruang tunggu rumah sakit. Yang kurasakan saat itu adalah haus yang sangat luar biasa, dan aku tak bisa beranjak untuk berdiri.
Aku hanya bisa terduduk di bangku itu dengan kondisi berdarah-darah, wajahku penuh luka, tangan dan kaki juga banyak mengeluarkan darah. Aku sempat melihat semua teman-temanku terbaring di lantai, entah dalam keadaan pingsan atau mati tak tau pasti saat itu. Dan aku melihat orang-orang berkerumun mengelilingi kami.
Aku tak kuasa menahan dahaga yang sangat luar biasa, aku pun coba berteriak.
“Air.. haus… minum.. toloong..” Kataku coba berteriak, tetapi suaraku lemah, kelopak mataku pun hanya mampu separuh terbuka karena tertutup tetesan darah, kondisiku saat itu cukup sekarat.
Di balik pandanganku yang mulai samar, aku melihat seseorang mengulurkan air minum kehadapanku. Aku sangat berterima kasih pada orang itu, entah siapakah orang baik yang telah memberiku air minum itu.
Setelah air minum itu kureguk habis, aku pun pingsan tak sadarkan diri.
Entah berapa lama aku pingsan rasanya seperti tidur saja. Dan aku kembali terbangun, tak ada rasa sakit yang kurasakan walau semua tubuh penuh luka, yang kurasa hanyalah tak mampu menggerakkan tubuh dan sekujur tubuh lemas.
Saat tersadar dari pingsan, aku telah berada di sebuah ruang rawat. Tampak olehku beberapa petugas medis yang sedang membersihkan luka-luka di sekujur tubuhku.
Melihat aku tersadar, seorang Dokter bertanya padaku.
“Mas punya keluarga yang bisa di hubungi ?”
“Ada Dokter, Saya punya nomor telpon keluarga saya di dalam dompet di saku belakang celana saya, tolong Dokter saya tak bisa bergerak mengambilnya.” Kataku meminta tolong pada Dokter itu.
Maka Dokter itu pun menolongku mengambilkan Dompet untuk memeriksa nomor telpon keluargaku.
Aku kembali merasakan haus yang teramat sangat, dan aku ingat memiliki uang di dompetku, aku pun kemudian berkata pada Dokter itu.
“Dokter, saya sangat haus, bolehkah saya minta tolong membeli air minum, uangnya ada di dalam dompet itu Dokter.”
“Oh, iya mas, mas ingin minum apa ? minum teh hangat atau air putih dingin ?” Kata Dokter itu menawarkan minuman yang ingin kupesan.
“Saya mau minum air putih botol yang besar saja Dokter.”
“Oh ya sebentar ya mas.” Kata Dokter itu kemudian menyuruh seorang petugas medis untuk membeli air minum botol besar.
Dokter itu pun kemudian mencoba menghubungi keluargaku lewat telpon. Setelah tersambung, terdengar Dokter itu menjelaskan kondisi yang kualami pada keluargaku, dan keluargaku minta tolong pada Dokter itu untuk merawatku dan akan segera datang ke rumah sakit itu.
Tak butuh waktu lama air minum pesananku datang, akupun segera minum sepuas-puasnya dan kembali pingsan tak sadarkan diri.
Saat terjaga aku telah berada di ruang lain lagi. Saat pingsan tadi samar-samar aku sempat melihat ketika tubuhku di bawa menggunakan ranjang dorong menuju sebuah ruang untuk menjahit kulit dan daging tubuhku yang terkoyak.
Dan kemudian, aku kembali tersadar dan telah terbaring di ruang rawat inap setelah semua luka-luka di sekujur tubuhku sudah di jahit.
Tampak seorang Polisi bertubuh tinggi tegap datang ke tempat aku berbaring di ruang rawat, Polisi itu kemudian menjelaskan aku telah mengalami kecelakaan, mobil yang kami kendarai telah terjadi tabrakan hebat, banyak korban dari kedua pihak kendaraan.
Setelah Polisi itu meminta keterangan dan mencatat semua kronologi kejadian yang aku ingat, maka Polisi itu pun pergi.
Di antara ke enam teman-temanku yang sama-sama mengalami kecelakaan itu, hanya akulah yang terbilang mujur, karena hanya aku yang menjalani perawatan secara intensif.
Sementara semua teman-temanku dilarikan ke rumah sakit lain, karena kapasitas rumah sakit tempat aku dirawat saat itu tidak memungkinkan.
Dan semua teman-temanku saat itu seperti terlantar dan tak ada yang mengurus mereka waktu itu. Dompet dan handphone mereka hilang tercecer waktu kecelakaan, identitas mereka pun menjadi sulit diketahui.
Dan orang-orang yang ingin menolong pun menjadi sulit untuk menghubungi keluarga mereka, tak ada nomor telpon yang bisa dihubungi untuk mengurus mereka saat itu.
Setelah keluargaku datang barulah keluarga mereka bisa dihubungi untuk segera merawat teman-temanku yang sedang berada di rumah sakit lain.
Melihat seragam kerja yang kupakai, orang-orang mengira aku adalah seorang karyawan pabrik atau sejenisnya. Dompet dan semua barang dalam kantongku lengkap tak ada yang hilang. Hanya celana hitam dan sepatu yang kupakai robek-robek karena kecelakaan itu.
Dari keterangan yang aku dengar, mobil yang kami kendarai dihantam oleh sebuah mobil Panter yang berlawanan arah. Mobil Panter itu pecah ban dan hilang keseimbangan hingga menabrak mobil kami.
Kedua kepala mobil itu pun hancur ringsek, mobil kami sempat terperosok ke parit. Entah siapa yang menolong dan membawa kami ke rumah sakit waktu itu, tak kuketahui secara pasti karena aku dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Setelah aku menjalani perawatan, dan mendapatkan berita lanjutan, mobil Panter yang menabrak kami penumpangnya banyak yang tewas. Sedangkan dari teman-temanku ada yang koma dan tak sadarkan diri. Ada pula yang patah tulang dan gigi rontok.
Eeng mengalami patah yang berjumlah sembilan titik, pada paha dan kaki.
Andai saja saat itu aku tidur di mobil tanpa memakai safetybelt, mungkin aku sudah terlempar keluar dari mobil atau mungkin lebih parah akibatnya. Dan aku berterimakasih pada Eeng yang telah mengingatkanku untuk memakai safetybelt di atas mobil saat itu.
Kejadian itu seperti membawa pelajaran. Tuhan masih memberikan kami kesempatan untuk hidup.
Eeng dengan kondisi patah-patah tetap melanjutkan pernikahannya sesuai jadwal undangan, ia mendapatkan istri yang setia dan tetap menerima Eeng sebagai suami walau kondisi Eeng sudah patah-patah.
Dan aku pun beberapa bulan tak bisa bekerja dan hanya merawat luka dan lututku yang cidera karena terkena benturan kecelakaan itu.
Kaki kananku bengkak dan menjadi besar, hanya bisa lurus tak bisa ditekuk.
Beberapa bulan aku melatih kakiku dengan menjemurnya setiap pagi pada sinar matahari. Dan setiap hari aku mengompresnya dengan air hangat atau minyak gosok untuk mengempiskan bengkak.
Aku pun berjalan menggunakan sebuah tongkat. Setiap hari, sedikit demi sedikit aku melatih menekuk kakiku, hingga beberapa bulan kemudian kakiku bisa ditekuk lagi secara normal.
Di saat kita sakit, tak mampu mencari nafkah, di saat itulah kita bisa melihat seperti apa diri kita dalam pergaulan, di saat kritis adakah teman-teman yang perduli dan membantu ? Tergantung seperti apa perlakuan kita terhadap orang lain sebelumnya.
Begitulah namanya resiko berkendaraan di jalan. Kalau musibah mau datang ada saja penyebabnya. Kalau tidak nabrak ya ditabrak.
Kita hanya bisa memperkecil resiko kecelakaan itu dengan meningkatkan kewaspadaan dan hati-hati. Berdoalah sebelum memulai perjalanan atau berkendaraan. Periksalah kelayakan kendaraan, seperti kondisi ban dan sebagainya.
Cerita ini adalah kisah nyata tahun 2006.
*****Sekian*****