Nenek Misterius dan Lima Murid (Bagian 2)

SIANG itu matahari cukup terik, dari pinggiran trotoar di pusat perbelanjaan kota besar, seorang pemuda dengan sebuah tas biru di punggungnya tengah berjalan menyusuri jalan kecil sepanjang emperan toko-toko di antara keramaian dan hiruk pikuknya kebisingan kota.

Pemuda itu tak lain adalah Erik, pemuda yang bertemu dengan nenek misterius kemarin.

Dia mulai terlihat berjalan pelan ketika melewati beberapa warung makan dan restorant yang ada di sepanjang pinggiran jalan pertokoan. perutnya terasa lapar karena belum makan siang itu.

Erik seperti bingung memilih mau makan apa. Dari pagi yang masuk dalam perutnya hanya sepotong roti dan segelas kopi. Panggilan interview lamaran kerja dari sebuah perusahaan membuatnya berangkat pagi dari rumah, dan tinggal menunggu keputusan perusahaan apakah dia akan diterima kerja atau tidak setelah tadi dia mendatangi perusahaan tersebut.

“Tilililit… tililit….” Suara Handphone pun berbunyi dari dalam saku celana Erik. Dia pun menghentikan langkahnya dan membuka handphone.

“Hallo,” Jawab Erik mengangkat telpon.

“Iya, Hallo selamat siang. Maaf dengan siapa saya bicara, saya melihat ada panggilan tak terjawab di hp saya, kemarin hp ini tertinggal di ruang kerja saya, jadi tak bisa menjawab semua panggilan masuk, apakah ada hal penting yang ingin disampaikan ?” Kata si penelpon kepada Erik. Suara si penelpon terdengar seperti dari seorang bapak-bapak.

Erik sejenak melihat nomor si penelpon dan teringat kalau nomor itu adalah nomor yang kemarin sore dihubunginya atas permintaan si nenek misterius yang bertemu dengannya kemarin.

“Oh iya, maaf pak, kemarin saya mencoba menghubungi nomor ini atas permintaan seorang nenek, kata nenek itu nomor ini adalah nomor telpon muridnya.” Erik coba menjelaskan.

“Seorang nenek ?” kalau boleh saya tau siapa saudara ? apakah saudara mengenalnya ? dan apakah saudara tau di mana nenek itu sekarang ?” Kata si penelpon bertanya.

“Nama saya Erik, maaf pak, saya tidak mengetahui di mana nenek itu sekarang, saya pun juga baru mengenalnya kemarin.” Jawab Erik.

“Baiklah, kalau begitu bisakah kita bertemu siang ini ? ada hal penting yang ingin saya bicarakan soal nenek tersebut, saya sekarang berada di restorant pindang raya di jalan Sudirman.” Kata si penelpon lagi.

Restorant pindang raya adalah sebuah restorant besar yang biasa dikunjungi oleh orang-orang kaya atau big-bos, karena harga menunya yang cukup mahal dan suasana restorant yang elegan, lokasinya pun di tengah kota tak jauh dari tempat Erik sekarang berada.

“Kebetulan saya sekarang sedang berada di sebrang Zero Plaza, tak jauh dari restorant pindang raya, di mana bapak ingin bertemu ?” Kata Erik.

“Kalau saudara tak keberatan kita bertemu di sini saja di pindang raya sekalian kita makan siang bersama, bagaimana ?” Si penelpon mengajukan tawaran kepada Erik.

Erik berfikir sejenak, kalau bertemu di pindang raya dia mau jajan apa, uang di sakunya mungkin tak cukup buat makan di sana karena pasti makanan di sana serba mahal. Ah sudahlah, nanti minum teh manis saja di sana, pulangnya nanti makan di warteg saja yang jauh lebih murah meriah. Katanya dalam hati.

Kemudian dia pun berkata lagi pada si penelpon.

“Baiklah, saya kesana sekarang, mungkin paling cepat 10 menit saya tiba disana, saya pakai baju putih dan menyandang tas biru.”

“Ok. Terimakasih, saya tunggu ya, nanti ada staf saya yang menunggu saudara di pintu restorant, kami tunggu di lantai dua. Sampai ketemu nanti.” Kata si penelpon mengakhiri pembicaran dan menutup telponnya.

Erik pun sesaat menghela nafas, lalu memasukkan Hp nya ke dalam saku celana dan segera berlalu dari tempat itu.

*****

Sementara itu, di sebuah ruangan besar di dalam restorant yang benama pindang raya, di sudut ruangan terlihat tiga orang pria berpakaian rapi berdasi dan seorang lagi di antara mereka adalah wanita, mereka sedang duduk bercakap-cakap di sebuah meja besar yang ada nomor 11 di tengah meja itu.

“Ipan, coba kamu turun kebawah dan sambut seseorang yang sedang saya tunggu, dia seorang laki-laki bernama Erik, mengenakan baju putih dan menyandang tas biru. Kalau dia sudah sampai bawa kemari.” Seseorang dari mereka pun berkata kepada pria yang duduk di sebelah kirinya.

“Baik pak, saya segera kebawah.” Jawab pria yang bernama Ipan tersebut lalu berdiri meninggalkan meja itu.

“Martin dan susi, kalian boleh pindah table dulu, sebentar lagi orang yang saya tunggu akan datang ke sini.” Kata orang itu lagi kepada dua orang yang ada di depannya.

“Baik pak, kami pindah duduk di table nomor tujuh, tiga table dari sini bila bapak membutuhkan kami.” Kata wanita yang bernama Susi kemudian kedua orang itu beranjak dari tempat duduk mereka.

Siapakah bapak itu ? Sepertinya dia adalah bos besar yang dihormati anak buahnya. Dia adalah orang yang tadi menelpon Erik. Namanya Pak Samsul, dia adalah murid pertama si nenek misterius.

Tiga puluh tahun yang lalu, Samsul muda adalah seorang pedagang asongan, ia sering menjajakan dagangannya di persimpangan lampu merah. Suatu hari di tengah panasnya matahari yang amat terik ia beristirahat di bawah sebuah pohon besar yang rindang.

Dagangannya hari itu amat sepi, di saat ia berteduh sambil bekipas-kipas dengan topinya karena cuaca yang panas siang itu, terlihat seorang nenek tertatih berjalan mendekatinya.

“Cung, nenek sangat haus tapi tak punya uang untuk beli minum, bolehkah nenek minta air minumnya cung ?” Sapa sang nenek ketika berhenti di depan Samsul.

Samsul sejenak memandang si nenek dan melihat dagangannya. Ia menjual berbagai macam dagangan seperti rokok, permen, tisu dan air minum botol.

Samsul pun kemudian memberikan sebotol air minum pada si nenek.

“Ini nek, minumlah, ambil saja untuk nenek dan tak usah bayar.”

“Terimakasih cung, tapi nanti kamu rugi kalau air minumnya diberikan secara gratis ?”

“Tak apa nek, lagi pula minuman dagangan saya masih banyak, yang penting nenek tidak kehausan.”

“Kalau begitu terimakasih cung.” Kata si nenek dan pergi setelah diberi air minum.

Begitulah setiap harinya, Samsul selalu bertemu si nenek ketika ia sedang berdagang, dan ia tak pernah berfikir rugi kalau setiap hari memberi si nenek air minum ketika bertemu.

Hingga suatu hari Samsul libur berdagang, dan ia hobby memancing. Maka hari itu ia pergi ke tempat biasa ia memancing. Ia tinggal di perkampungan pinggiran sungai besar. Di sebrang sungai itu terdapat sebuah pulau kecil yang ditumbuhi hutan dan rawa-rawa.

Dengan perahu kecil ia mendayung kesebrang menuju pulau kecil itu. Setelah sampai di tepi hutan ia pun mengikat perahu pada sebuah pohon di tepi sungai. Hutan di pinggiran sungai itu jarang dikunjungi orang bahkan tak ada rumah di situ karena penuh rawa-rawa di bagian ke tengah hutan. Maka di tepi sungai itu banyak sekali ikan-ikan besar yang bersarang.

Setiap kali ia memancing di situ selalu banyak mendapatkan ikan untuk dibawa pulang. Tapi entah kenapa hari itu setelah berjam-jam memancing tak seekor pun ikan yang makan umpan pancingnya. Akhirnya dia pun penasaran dan membuka ikatan tali perahu dari pohon lalu mendayung mencari lokasi baru di tepian hutan itu.

Ia pun berhenti setelah melihat dataran kecil yang bisa berpijak dan memasuki hutan itu dengan mudah, ia menepikan perahu dan turun. Tapi tak ada pohon untuk mengikat perahu, yang ada hanya rumput-rumput rawa di tepian itu. Akhirnya Samsul mencoba menarik perahunya kedataran tanah yang sedikit berlumpur itu agar bisa meletakkan perahunya dengan aman.

Setelah dirasa aman ia pun melangkah memasuki hutan rawa itu dengan berjalan kaki, ia mulai memancing dan sedikit jauh dari perahunya. Tanpa ia sadari perahunya terbawa air sungai yang sedang pasang, dan gelombang air cukup kuat hingga membawa perahunya jauh ketengah. Samsul baru sadar perahunya telah hilang terseret arus ketika berniat hendak pulang.

Ia pun lemas, perahunya pun sudah sangat jauh terbawa arus sungai. Ia menatap kesebrang tak mungkin ia berenang untuk pulang karena sungai itu sangat lebar dan arus air saat itu cukup deras. Hari pun mulai semakin gelap mendekati malam. Di saat ia berfikir untuk bisa pulang menyebrangi sungai itu, tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh dari arah belakangnya.

“Hehehehe…. hehehehe….!”

Samsul sontak berteriak karena terkejut bercampur rasa takut. Ia pikir itu adalah suara hantu rawa yang muncul. Tapi ia sedikit tenang ketika berbalik dan melihat ke belakang. Ia mengenali sosok yang tadi tertawa, dengan penuh rasa heran Samsul berkata.

“Apa saya tak salah lihat ? bukankah nenek yang selalu bertemu saya di sekitar lampu merah di kota ?”

“Hehehehe… benar cung, neneklah orang yang kamu maksud.”

“Sedang apa nenek di sini ? dan bagaimana bisa nenek berada di tempat seperti ini ?” Tanya Samsul sambil melihat sekeliling, ia berfikir barangkali si nenek menggunakan perahu ke situ.

“Kamu tak perlu tau hal itu, nenek sengaja datang untuk menolongmu, nenek akan menurunkan ilmu dan mengangkatmu sebagai murid. “

Samsul masih bingung dengan perkataan si nenek.

“Sudah, jangan banyak berfikir ! cepat mendekat kemari !” Kata si nenek.

Samsul pun melangkah pelan mendekat.

“Ulurkan kedua tanganmu.!” kata si nenek lagi.

Setelah Samsul mengulurkan kedua tangannya ke depan, si nenek kemudian memegang kuat kedua tangan Samsul.

“Pejamkan matamu, tarik nafas dalam dalam kemudian tahan. Buang semua beban dalam pikiranmu, lemaskan seluruh tubuhmu seolah berat tubuhmu hilang.” kata si nenek mengarahkan.

Samsul mengikuti arahan si nenek, seluruh tubuhnya mulai merasakan hawa sejuk seperti angin lembut meniup seluruh tubuhnya.

“Hembus nafas pelan dan buka matamu.” Kata si nenek

Samsul merasakan tubuhnya begitu ringan, karena penasaran dia iseng coba meloncat sedikit, tapi apa yang terjadi, tubuhnya melayang keatas naik setinggi dua meter lalu perlahan turun. Ia seakan tak percaya dengan apa yang baru ia lakukan, dengan perasaan senang ia meraba-raba seluruh badannya.

“Sudah, cukup ! Jangan kamu berlagak seperti orang norak, sekarang kamu adalah muridku, dan aku baru saja menurunkan ilmu meringankan tubuh dengan mengimbangi gaya gravitasi bumi. Kau sekarang bisa berjalan di atas air dan bisa melompat tinggi sesuai kekuatan dan tingkat latihanmu nanti. Dan pakailah gelang ini sebagai tanda kau adalah muridku, Sekarang pulanglah.” Si nenek berkata sambil memberikan sebuah gelang kepada Samsul.

Samsul menerima dan memakai gelang itu, kemudian dia pun melongo memandang ke arah sungai yang sangat lebar itu.

“Cepaaaat !! Apa lagi yang kau tunggu ! lari dan sebrangi sungai itu sekarang !!” Si nenek membentak.

Samsul tersentak, seketika pula ia pun berlari menyebrangi sungai itu dengan melayang menapakkan kakinya di atas air.

*****

Tak butuh waktu lama, Erik pun sampai di depan gerbang restoran pindang raya, gerbang itu terhalang palang portal otomatis untuk karcis parkir kendaraan, sesaat Erik memperhatikan restoran itu.

Tampak olehnya restoran itu seperti hotel mewah berlantai empat, pekarangan parkirnya cukup luas, di sebelah kanan ada jalan kecil untuk lewat pejalan kaki tepat di depan pos penjagaan security. Erik pun melanjutkan langkahnya ke arah jalan masuk melewati pos securtiy.

“Selamat siang, mau kemana mas ?” Kata security bertanya pada Erik ketika tepat melawati pos penjagaan.

“Saya mau menemui sesorang di dalam pak.” Erik menjelaskan pada security.

“Maaf mas, kami harus periksa tas yang mas bawa, sesuai aturan keamanan di sini mas.” Kata security lagi.

Di saat security bertanya dan ingin memeriksa Erik, datang seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian rapi berdasi menghampiri mereka. Dia adalah pria yang tadi diperintahkan menyambut Erik.

“Selamat siang, ada apa ini ?” Sapa Pria tadi kepada security, dia pun memperhatikan Erik yang menyandang tas biru dan mengenakan baju putih. Ciri-ciri yang sama dengan orang yang akan di sambutnya.

“Siang pak Ipan, kami sedang menjalankan tugas pemeriksaan kepada pemuda ini” jawab security pada pria itu. Sepertinya security itu telah mengenali pria tersebut.

Pria bernama ipan itu pun bertanya kepada Erik. “Apakah suadara bernama Erik ?”

“Iya benar, saya Erik, saya bermaksud masuk kedalam untuk menemui seseorang.” Erik menjelaskan.

“Oh, Perkenalkan saya Ipan, saudara adalah orang yang sedang kami tunggu.” Ipan mengulurkan tangan memperkenalkan diri pada Erik.

Akhirnya Ipan pun menerangkan kepada security bahwa Erik adalah tamu yang sedang di tunggu di dalam.

“Kalau begitu silahkan masuk pak Erik, maafkan atas kelancangan tugas kami tadi.” Security pun berkata pada Erik.

“Terimakasih pak, tak apa-apa, kami permisi dulu kedalam.” Jawab Erik pada security.

“Mari pak, silahkan.” Kata security lagi sambil mempersilahkan. Akhirnya Erik dan Ipan berlalu meninggalkan pos security.

Sampai di depan pintu masuk gedung restoran yang terbuat dari kaca tebal, Erik dan Ipan disambut lagi oleh dua orang pelayan.

“Selamat siang pak, mari silahkan masuk, selamat datang di pindang raya.” Sapa salah seorang pelayan yang berdiri di samping pintu kaca.

“Terimakasih,” jawab Erik sambil memberi senyum kecil pada pelayan. Pintu kaca otomatis terbuka dan mereka berdua melangkah ke dalam ruangan.

Sambil berjalan mengikuti Ipan yang menuju ke arah lift, Erik merasakan sejuk dan harum ruangan besar itu. Matanya pun sekilas memperhatikan kiri-kanan suasana ruangan itu. Dalam hatinya Erik berkata, jarang-jarang ia bisa nongkrong di tempat seperti ini bahkan mungkin belum pernah. Tak lama sampailah mereka di pintu lift dan mereka pun naik ke lantai dua.

Erik merasakan suasana ruangan yang sedikit berbeda ketika melangkah keluar dari lift, mereka telah berada di lantai tingkat dua, ruangan itu sepertinya khusus ruang perokok, beberapa kipas besar di langit-langit ruangan sebagai penyejuk. Terdapat pula banyak meja-meja besar, kanan-kiri ruangan tak berdinding hanya pagar besi dengan hijaunya tumbuhan dan bunga.

“Mari saudara Erik kita ke pojok table 11.” Ipan berkata sambil memberikan isyarat tangan ke arah meja yang ada di pojok kiri ruangan besar itu.

Erik pun melangkah mengikuti Ipan, dari kejauhan Erik pun memperhatikan ke arah pojok di mana meja yang sedang mereka tuju.

Tampak olehnya seorang bapak-bapak yang duduk sendiri memandang ke arah mereka, raut wajahnya masih gagah walau telah berumur sekitar 65 tahun, kumis dan janggutnya rapi dan telah memutih. Bapak itu tak lain adalah Samsul muda tiga puluh tahun silam, yang sekarang dipanggil pak Samsul seiring usianya yang semakin tua.

Langkah mereka pun terhenti ketika telah sampai di meja 11.

“Erik ya ?!” Pak Samsul berdiri dan berkata pada Erik sambil mengulurkan tangan.

“Benar pak, saya Erik.”

Sesaat Kedua orang itu sempat memperhatikan gelang yang ada di pergelangan tangan mereka saat berjabat tangan. Gelang yang bentuknya serupa.

“Mari, silahkan duduk.” Kata Pak Samsul mempersilahkan Erik untuk duduk.

“Ipan, terima kasih sudah mengantar Erik kesini, silahkan bergabung dengan Martin dan susi yang ada di meja 7.” Pak Samsul berkata kepada Ipan yang masih berdiri di samping meja.

“Baik pak, saya permisi.” Jawab Ipan lalu melangkah meninggalkan mereka.

“Oh iya Erik, perkenalkan nama saya Samsul, panggil saja pak Samsul, ayo kita pesan makanan, kita makan dulu, di sini masakannya semua enak, saya suka tempat ini.” Katanya dengan tersenyum lebar pada Erik sambil menekan bel yang ada di tengah meja.

Tak lama, dua orang pelayan wanita yang berparas cantik datang menghampiri mereka, pelayan yang satu membawa buku menu, dan pelayan satu lagi membawa buku catatan sambil memegang pulpen.

“Selamat siang pak, silahkan dipilih mau pesan apa, masakan spesial di sini ada aneka pindang, masakan lainnya juga ada, mari pak silahkan.” Sapa pelayan itu ramah sambil menyodorkan buku menu kepada Erik dan pak Samsul.

Erik pun coba melihat-lihat daftar menu makanan yang diberikan pelayan. Benar saja, semua harga makanan dan minuman yang tertera di menu tak ada yang murah. Dia melihat harga es teh manis saja senilai 30 ribu.

Hilang sudah seleranya untuk memesan minuman. Dia berfikir lebih baik nanti saja makan minum di warung biasa yang lebih hemat.

“Saya pesan pindang daging ikan dan sepiring aneka buah potong kecil, minumnya air mineral saja.” Pak Samsul berkata sambil menyerahkan buku menu kepada pelayan.

“Kalau saya nanti saja mbak, kebetulan saya belum begitu lapar.” Erik berkata pada pelayan dan menyerahkan buku menu.

“Lho, kenapa tak pesan makan ? pesan saja sepuasnya, hari ini saya yang traktir, ayo pesan jangan tidak.” Pak samsul berkata pada Erik supaya memesan makanan.

“Terimakasih pak, saya biasa makan di warteg, jadi nanti saja sekalian pulang.” Jawab Erik.

“kamu suka pindang ikan ?” Tanya pak Samsul.

“Suka pak.” Jawab Erik singkat.

“Kalau begitu saya pesannya menjadi dua mbak, pesan double seperti yang saya pesan tadi.” Kata pak Samsul kepada pelayan.

“Baik pak, ditunggu sebentar pesanannya ya pak, permisi.” Jawab pelayan lalu pergi.

Waktu pun bergulir, tak terasa jam dinding menunjukkan pukul setengah tiga.

Pak Samsul duduk bersandar santai sambil menyalakan sebatang cerutu. Erik pun tampak sedang menikmati sebatang rokok. Mereka telah selesai makan, hidangan di atas meja pun telah berganti dengan dua gelas kopi hitam yang mengepul.

“Jadi sekarang anggap saya adalah keluargamu Erik, soal si nenek sepertinya tak bisa saya ceritakan panjang lebar di sini, walaupun kamu belum menceritakan pertemuanmu dengan si nenek tapi saya bisa menebak kejadiannya.” Pak Samsul berkata pada Erik sambil mengetuk-ngetukkan cerutu dengan jarinya ke asbak besar di atas meja.

“Maaf pak, sebenarnya saya masih belum bisa memahami pelajaran apa yang akan saya terima ketika si nenek mengangkat saya sebagai murid, sedangkan saya baru kemarin bertemu si nenek dan tak tau apakah akan bertemu lagi dengan beliau.” Jawab Erik.

“Kamu akan tau nanti, tak perlu kamu pikirkan terlalu jauh hal itu, jalani saja waktu kedepan dengan selalu berpegang niat yang baik. Jangan seperti Soni.” Kata pak Samsul sambil kembali menghisap cerutunya.

“Maaf pak, siapa itu Soni ?”

“Soni adalah salah satu murid nenek, umurnya sedikit di atasmu, saat ini pihak kepolisian belum mengetahui keberadaannya, dia menjadi seorang penjahat yang sering merampok bank, setengah tahun lalu saya sempat bertemu dengannya, ketika mobil saya di stop dan dihalangi beberapa orang penjahat pada suatu malam di jalan yang sepi, dan ternyata pimpinan mereka adalah soni. Saya sempat merobohkan beberapa anak buahnya dan bertarung dengan Soni. Kami saling mengenal setelah Soni menangkap tangan saya dan melihat gelang yang saya pakai. Mereka mengurungkan niat berbuat jahat dan kabur setelah soni mendengar penjelasan saya.” Kata pak Samsul bercerita.

Keduanya pun sesaat diam dan kemudian pak Samsul bertanya lagi pada Erik.

“Oh ya, saya belum tau di mana rumahmu Erik, dan apa pekerjaanmu?”

“Saya menumpang tinggal bersama keluarga abang saya di daerah kampung gedong, dan sudah seminggu ini saya berhenti bekerja, pagi tadi baru saja saya mengikuti panggilan interview untuk bekerja dan sedang menunggu keputusan, entah bakal dipanggil lagi atau tidak saya tak tau.” Jawab Erik menjelaskan.

“Memangnya apa bidang pekerjaanmu ?” Tanya pak Samsul lagi.

“Saya hanya seorang yang hobby di bidang IT pak.” Jawab Erik.

“Ow begitu, bisakah kamu jelaskan sedikit gambaran bagaimana system atau fungsinya dalam sebuah perusahaan ?” Kata pak Samsul seperti ingin menguji sejauh mana profesional bidang Erik.

Erik pun memberikan semacam presentasi secara ringkas point-pointnya, dan semua penjelasannya sederhana dan mudah di pahami oleh pak Samsul.

“Wah, kalau begitu kebetulan sekali Erik, saya minta kamu untuk bergabung di perusahaan saya, karena tadi saya bersama beberapa orang pimpinan cabang sengaja rapat santai di sini membahas seputar masalah itu. Kami sedang mencari seseorang untuk memimpin perusahaan cabang sebagai basis utama sarana ataupun pusat operasional perlengkapan IT untuk mendukung semua perusahaan cabang yang kita punya.” Pak Samsul mejelaskan.

Erik hanya terdiam dan berfikir, tangannya mengambil gelas kopi di atas meja dan coba meminumnya. Dia seperti meyakinkan diri dengan apa yang sedang ia hadapi.

“Nanti malam kamu saya undang makan malam di rumah saya, silahkan dipertimbangkan, dan saya berharap kamu datang Erik.” Kata pak Samsul, kemudian dia mengeluarkan kartu nama yang berisi alamat dari dompetnya dan memberikannya pada Erik.

“Dreeet..! dreeet…!” Suara handphone bergetar-getar panjang di atas meja, pak Samsul pun coba mengambil HPnya. Terlihat panggilan video masuk dari seseorang, di layar handphone itu muncul profil pemanggil dari seorang perempuan dengan nama Oppy.

“Ada apa anak papa video call.” Jawab pak Samsul setelah video call tersambung.

Di layar handphone itu terlihat seorang gadis dengan ekspresi cemberut dari bibirnya yang merah tipis. Usianya sekitar 23 tahun. Rambutnya pirang kuning kemerahan. Gadis itu mengosok-gosok hidungnya yang kecil sedikit mancung, kemudian berkata pada pak Samsul.

“Papa lagi di mana ? ini pa, Oppy mau minta tolong sama papa, kirim seseorang teknisi ke kantor Oppy, soalnya laptop di kantor mengalami gangguan komunikasi, error gitu pa, dan beberapa informasi data perusahaan tak bisa diakses, duuh… mana teknisi di sini tak masuk kerja karena lagi sakit pa, Oppy kan jadi bingung.” Kata gadis itu bicara pada pak Samsul.

“Papa lagi makan siang bersama teman di pindang raya, ya sudah nanti papa kirim orang kesana.” Jawab pak Samsul.

“Papa memang the best deh, makasih ya pa, ya sudah vicallnya Oppy tutup, nanti pulang Oppy bawain sate kesukaan papa.” kata gadis itu, sebelum akhirnya pembicaraan mereka berakhir.

“Sekarang mari kita lihat kemampuanmu Erik, interview kerja dariku bukanlah segudang pertanyaan tapi aksi yang nyata, seseorang di sana sedang membutuhkan pertolonganmu, apakah kamu bersedia membantu ?” Kata pak Samsul pada Erik sambil meletakkan HPnya di atas meja.

“Saya akan coba semampu saya pak, dan saya tak berani berjanji semua akan berhasil.”

“Oke, kalau begitu biar Ipan yang akan mengantarmu.” Kata pak samsul kemudian memberi kode pada Ipan yang sejak awal mengawasi mereka dari meja 7. Ipan pun datang menghampiri, pak Samsul lalu berbicara pada Ipan dan memberi instruksi, setelah itu Ipan pun mengajak Erik pergi meninggalkan tempat itu.

*****

Sebuah mobil sedan putih melaju dan berbelok memasuki pelataran sebuah gedung perkantoran, lalu berhenti dan parkir tepat di depan lobby gedung yang saat itu terlihat beberapa orang security sedang berdiri berjaga-jaga.

Bersambung ke Bagian 3

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai