LANGIT tampak gelap pagi itu, hujan gerimis pun turun membasahi tanah yang kering berdebu. Sebuah mobil van hitam bergerak keluar dari sebuah gedung tua seperti bekas pabrik yang sudah lama tak beroperasi. Setelah mobil itu merayap pergi, tampak beberapa orang pria bertubuh tegap berpakaian hitam kembali menutup gerbang tinggi yang terbuat dari plat besi itu.
Tak jauh setelah mobil van itu melaju, kemudian terhenti di sebuah persimpangan jalan lampu merah.
“Tok.. tok.. tok..!” Kaca mobil diketuk sepasang anak kecil dengan pakaian basah kehujanan dari arah samping kanan.
“Bagi uangnya om.” seorang dari anak itu berkata di samping kaca mobil.
Kaca belakang mobil terlihat turun pelan, seorang pria berkaca mata hitam tampak mengeluarkan bungkusan plastik hitam dan memberikannya pada anak-anak itu.
“Terimakasih om.” Kata mereka pada pria itu lalu berlari-lari kecil pergi meninggalkan mobil itu.
Lampu rambu di tiang jalan pun berubah hijau, mobil itu kembali berjalan.
“Sepertinya hasil rampokan kita tiga bulan ini sudah hampir habis bos, apa rencana kita selanjutnya ?” Terdengar pembicaraan dari dalam mobil itu. Kata seorang pria sangar yang duduk di sebelah pria gondrong yang memegang setir kepada pria berkaca mata hitam yang duduk sendiri di bangku belakang, sementara mobil itu terus melaju di tengah rintik hujan.
“Besok malam kita rampok rumah seorang juragan pelit yang kaya-raya, kita jangan dulu merampok bank, karena semua bank saat ini sedang dijaga ketat oleh kepolisian. Hari ini kita gambar lokasi target dan mengatur strategi.” Kata pria berkaca mata itu.
Mobil itu pun mulai melaju kencang dan kemudian menghilang tertutup pepohonan di tikungan jalan.
Siapakah pria berkaca mata hitam di dalam mobil itu ? dia tak lain adalah Soni, salah satu murid si nenek misterius.
Lima tahun yang lalu Soni adalah pemuda gelandangan yang hidup di jalanan, sebenarnya dia adalah anak orang yang cukup kaya, dia diusir dari rumah karena dianggap telah melawan dan menentang perintah ayahnya.
Saat itu ayahnya berambisi menyekolahkan dirinya keluar negeri agar kelak menjadi seorang pengusaha yang sukses. Tapi Soni bersikeras tak ingin pergi ke luar negeri, ayahnya tak menyetujui niatnya untuk menjadi seorang polisi.
Hingga suatu malam terjadilah peristiwa pertengkaran antara ayah dan anak itu.
“Ayah peringatkan sekali lagi padamu Soni ! kalau kau tak mau kuliah ke luar negeri, berarti sama saja kau melawan ayahmu !” Kata seorang lelaki separuh baya dengan tubuh tinggi besar yang berdiri di depan sebuah kamar, wajahnya tampak memerah dari raut yang sedikit hitam. Kumisnya tebal sedikit memutih bergerak-gerak menahan amarah.
“Maafkan Soni ayah, Soni tak ingin kuliah di sana, Soni hanya ingin ikut tes masuk kepolisian, kalau pun ayah memaksa, Soni tetap tak ingin kuliah.”
“Anak kurang ajar ! berani kau menentang kehendak ayahmu. Kau pikir kau sudah lebih pintar dariku ! Sekarang juga kau angkat kaki dari rumah ini ! jangan harap kau bisa makan dan tidur enak di sini dengan melawan perintah ku ! aku ingin lihat apa kau bisa hidup di luar sana ! kemasi barangmu dan pergi dari rumah ini !”
Malam itu juga Soni pergi dari rumah tanpa membawa apa pun selain pakaian yang melekat di badan, diiringi derai tangis ibunya yang coba menengahi kemarahan ayahnya dan membujuk Soni agar tidak pergi.
Tapi semua tak merubah pendirian antara ayah dan anak itu. Maka pergilah ia malam itu dengan semua rasa yang bercampur aduk dalam hatinya. Marah, kecewa, sedih yang bergejolak menoreh luka di hati di antara dinginnya rintik hujan yang mengiringinya pergi meninggalkan rumah itu.
Hari berganti hari, Soni terpaksa hidup di jalanan menjadi gembel yang putus asa, untuk makan terkadang dia mendapat uang dari membersihkan kaca mobil di setiap lampu merah, atau dari mobil-mobil yang sedang parkir di depan toko-toko.
Terkadang pula sebagaian orang melempar uang di depannya saat ia sedang duduk termenung dengan tatapan kosong di pinggir jalan atau di emperan toko. Di malam hari ia pun tidur di mana saja sesukanya di tempat yang sepi tak dilihat orang.
Suatu malam, Soni baru saja membeli nasi bungkus untuk makan malamnya, dengan langkah gontai seperti tak ada semangat hidup, dia mencari tempat nyaman untuk makan, hingga ditemukannya sebuah bangku panjang di depan pasar yang telah tutup.
Tak ada orang di sana, lalu ia pun duduk untuk membuka bungkusan nasi yang telah ia beli. Belum selesai ia membuka bungkusan nasi, lewat seorang nenek tua yang entah darimana datangnya berjalan tertatih dari arah samping. Soni sempat menoleh dan melihat nenek itu tapi Soni tak terlalu memperdulikan, karena dia pikir mungkin si nenek adalah gelandangan yang sama sepertinya.
Soni kembali membuka bungkusan nasi dan mencuci tangannya dengan air yang dibungkus plastik, lalu ia pun mulai meraup nasi dengan jarinya.
Tapi ketika ia hendak menyuapkan nasi kedalam mulutnya tiba-tiba ia menghentikan gerakannya karena merasa sedikit aneh. Ia menoleh ke kiri, dilihatnya nenek tadi sedang berdiri sambil memperhatikannya. Leher si nenek naik turun dan mulutnya seperti meniru orang yang sedang makan. Soni meletakkan kembali nasinya lalu berkata pada si nenek.
“Ada apa nek ? apakah aku pernah mengganggumu ?” Tanya Soni pada si nenek.
Si nenek hanya menggelengkan kepala tapi matanya terus menatap ke nasi bungkus. Soni lalu melihat nasi bungkus di depannya dan memandang lagi ke arah si nenek.
“Apa nenek lapar ? belum makan ?” Tanyanya lagi.
Si nenek mengangguk saja.
Soni mencuci tangannya dan tak jadi makan. Ia pun merapikan bungkusan nasi di depannya, mengikat lagi dengan karet lalu menyerahkan bungusan nasi itu pada si nenek.
“Ambilah nek, makan lah.”
“Terimakasih cung, kamu baik sekali memberi nenek makan, kamu sendiri nanti makan apa ? Kata si nenek bertanya sambil mengambil bungkusan nasi itu.
“Saya sudah biasa lapar nek, nanti juga saya bisa beli lagi.”
“Ya sudah, nenek terimakasih dan nenek bawa makanan ini ya cung ?”
“Iya nek.” Jawab Soni singkat sambil memandang nenek itu berjalan tertatih lalu hilang di balik tembok bangunan toko-toko yang telah tutup itu.
Soni hanya duduk terdiam sesaat, kemudian dia mengibas-ngibas tangan membersihkan bangku panjang tempat ia duduk itu, lalu mencoba merebahkan diri dan memandang ke atas langit yang terlihat terang oleh sinar bulan.
Tak beberapa lama ia pun berdiri dan merogoh kantong celananya, dikeluarkannya beberapa lembar uang dan koin lalu dihitungnya di atas bangku, ia pun berencana membeli makanan lagi dari sisa uang di kantongnya yang tinggal 16 ribu. Setelah memasukkan uangnya kembali ke dalam kantong, ia pun melangkah beranjak dari tempat itu.
Belum jauh Soni berjalan, ia berpapasan dengan beberapa orang pria yang sedang berjalan di depannya. Empat orang itu tampak mabuk dengan berjalan sedikit sempoyongan sambil tertawa-tawa. Soni lalu minggir menepi dari jalannya dengan maksud memberi mereka lewat. Tapi seorang dari mereka tiba-tiba jatuh tersungkur ketika mereka melewati Soni. Orang itu sepertinya jatuh karena terlalu mabuk telah meminum minuman keras.
“Hei kau apakan dia sampai dia jatuh !” Seorang dari mereka membentak Soni.
Soni hanya diam sambil memandang ke arah orang yang jatuh tadi dan melihat sekeliling. Ia sadar akan terjadi keributan dengan orang-orang itu.
“Bangsat ! ditanya kau tak menjawab !” Seorang dari mereka membentak dengan serta merta melayangkan pukulan ke arah wajah Soni.
Melihat serangan yang tiba-tiba, Soni tak sempat menangkis pukulan itu, dia pun reflek menggeser tubuhnya kesamping dengan cepat.
“Bruukk !!” Orang itu menubruk tembok karena hilang keseimbangan setelah pukulannya tak mengenai sasaran.
Seorang lagi dari mereka coba menerjang Soni dengan tendangan lurus, tapi tendangannya tak begitu cepat karena kondisinya yang mabuk, Soni dengan mudah menangkap kaki orang itu dan menariknya dengan kuat hingga orang itu terjengkang jatuh.
“Buukkk !” Suara orang itu terjatuh dan tak kuat bangkit.
“Kurang ajar !” Seorang dari mereka yang masih berdiri membentak sambil mengeluarkan sebilah pisau, Soni memandang sekelilingnya dan melihat sebuah bangku reot yang tersandar di dinding di belakang kirinya, dengan cepat ia ambil bangku itu, orang tadi dengan cepat pula menyerang ke arahnya dengan menghujam pisau.
“Braakkk !!!” Bangku reot itu patah setelah Soni menghantamkan bangku ke tubuh orang itu sampai terjatuh.
Melihat ke empat orang itu sudah jatuh dalam keadaan tak kuat bangkit, Soni pun cepat meninggalkan tempat itu.
Setelah cukup jauh berjalan, akhirnya Soni melihat sebuah warung kecil di pinggir jalan, ia pun membeli beberapa potong roti dan air minum lalu kembali berjalan tanpa tujuan kemana kaki melangkah. Ia tampak seperti orang stress dengan pakaian lusuh yang kumal, rambut yang mulai panjang acak-acakan tak terawat.
Hingga ia pun mulai letih dan dingin mulai merasuk tulang ketika malam yang hening mulai menyambut dini hari. Langkahnya terhenti ketika melihat sebuah bangunan tua yang lama kosong di pinggir jalan. Bangunan itu hampir tertutup semak belukar yang tinggi. Ia pun berniat masuk dan istirahat di dalam rumah itu. Di lihatnya lagi sekeliling sepi, jarak rumah-rumah lain dan pertokoan pun jauh dari rumah itu, mulailah dia masuk dan melihat kedalam rumah itu.
Suasana gelap dan berbagai hawa aneh tercium dari hidungnya, tapi ia tak begitu menghiraukan, dinyalakannya korek untuk menerangi kondisi ruangan, tampak lantai yang penuh debu dan beberapa kayu-kayu bekas berserakan di pojok ruangan. Ia meletakkan bungkusan yang dipegangnya ke lantai dan mengambil kayu-kayu kecil untuk dibakar. Setelah usahanya berhasil menyalakan api di ruangan itu, ia pun keluar rumah dan mematahkan ranting pohon yang rimbun daunnya di sekitar bangunan itu untuk membuat sapu.
Setelah ruangan itu ia bersihkan, ia pun duduk memandangi api dan menjaga perapian yang ia buat agar tetap menyala, sesekali ia memasukkan kayu kecil ke dalam api ketika kayu akan habis dilalap api. Sambil mengunyah roti yang ia beli tatapannya kosong memandangi gerakan api yang menyambar membakar kayu di depannya. Tiba-tiba ia dikagetkan oleh suara tawa dari belakangnya.
“Hehehehe… hehehehe…!” Suara tawa dari seorang nenek tua yang sedang berdiri beberapa langkah di belakang Soni.
Hampir saja Soni meloncat karena terkejut, Soni membalikkan badan melihat kebelakang dengan penuh waspada. Dia ingin marah ketika melihat siapa yang berdiri itu, tapi ia tak ingin memarahi seorang nenek yang tadi ia beri bungkusan nasi.
“Bukan kah nenek ini yang tadi ada di pasar itu ?” Tanya Soni ke pada si nenek.
“Benar cung, nenek adalah orang yang tadi kamu beri makan.”
“Kenapa bisa nenek ada di sini ?” Tanya Soni lagi.
“Kamu tak perlu tau itu, nenek tadi melihatmu mengalahkan beberapa orang di pasar itu, kamu sebenarnya pemuda yang berani dan cerdas tapi sayang bakatmu habis hanya untuk melamun dan menjadi gelandangan.” Kata si nenek sambil mengetukkan tongkat kayunya ke lantai.
Soni hanya tertunduk, ia kembali melihat kenyataan hidupnya, seakan perkataan si nenek telah menamparnya untuk bangkit dari ke putus asaan. Kemudian ia mengangkat wajahnya menatap ke si nenek dan berkata.
“Siapakah nenek sebenarnya, dan ada maksud apakah nenek mengikuti aku sampai kesini ?”
“Hehehehe…! nenek sengaja menemuimu di sini karena kamu telah berbaik hati tadi, dan nenek akan memberikan ilmu kepadamu, kehidupanmu akan keras dan akan mempunyai banyak musuh.”
Soni cepat membungkukkan tubuh memberi hormat pada si nenek, dia bisa menebak si nenek bukanlah orang sembarangan dan pasti memiliki kesaktian yang tinggi.
“Sudah, sekarang kamu buka baju dan duduk bersila membelakangiku, cepat !” kata si nenek memberi perintah.
Soni membuka baju dan duduk bersila membelakangi si nenek, ia merasakan kedua tapak tangan si nenek secara cepat telah menempel di punggungnya. Awalnya tapak tangan itu tarasa sangat dingin seperti ditempel es, tapi beberapa saat kemudian dia merasakan kedua tapak tangan si nenek menjadi panas bagai ditempel dua buah setrika yang panas yang seakan siap membakar punggungnya.
“Jangan takut ! tenangkan pikiranmu, tarik nafas yang dalam, nenek akan menyalurkan tenaga dalam padamu.”
Soni merasakan punggungnya bagai terbakar, seketika dia merasakan tubunya mengalir hawa yang hangat, seakan merasakan hawa itu ikut dalam aliran darah di sekujur tubuhnya, perlahan rasa panas di punggungnya makin lama tak lagi ia rasakan. Seluruh ruangan yang separuh gelap tampak menjadi terang oleh pandangan matanya. Tubuhnya terasa sangat ringan.
Si nenek menarik tapak tangannya dari punggung Soni.
“Sekarang duduk berbalik kesini.” Perintah si nenek.
Soni berbalik dan menjura hormat. ” Terimakasih guru, aku merasakan sesuatu yang berbeda dalam tubuhku.”
“Ah, kamu belum apa-apa sudah memanggilku guru ! tapi baiklah kamu sekarang aku angkat sebagai muridku. Tadi aku telah menyalurkan ilmu tenaga dalam di tubuhmu, dan kamu harus melatih beberapa gerakan dan jurus untuk menyempurnakannya.”
Si nenek kemudian mengeluarkan sebuah buku kecil yang tak begitu tebal dari balik bajunya, buku itu seperti telah berusia sangat lama tapi masih rapi terawat.
“Pelajari kitab ini, kamu akan mampu menaklukan senjata apapun dan matamu akan menjadi tajam mampu melihat di tempat gelap sekali pun.” Kata si nenek menyerahkan kitab itu kepada Soni.
“Terimakasih guru,” Soni mengambil kitab itu dengan kedua tangannya sambil membungkukkan badan.
“Dan pakailah ini sebagai tanda kamu adalah muridku.” Si nenek kemudian melempar sebuah gelang ke arah Soni.
Soni seakan mampu merasakan angin yang datang dari lemparan gelang itu, dan seakan ia melihat gerakan gelang itu seperti berputar pelan kearah nya, padahal gelang itu sangatlah kencang mengarah ke wajahnya. Maka dengan mudahnya ia menangkap gelang itu. Andai saja dirinya belum memiliki tenaga dalam pastilah ia takkan sanggup menangkap lemparan gelang itu, dan pasti pula gelang itu akan menghantam kuat ke wajahnya.
Soni sesaat memperhatikan kedua benda yang ia pegang. Tapi ia kaget ketika melihat ke depannya si nenek sudah menghilang. Ia pun berdiri dan cepat melihat keluar tapi ia sudah tak melihat kemana si nenek menghilang.
Tiga bulan berlalu, Tak butuh waktu lama Soni telah menguasai dan mempelajari kitab yang ia terima, setiap malam ia berlatih di rumah kosong itu dan tak ada orang lain yang mengetahuinya. Sebagian orang yang sering melihatnya menganggap ia pemuda stress dan tak memperdulikan ia tinggal di rumah kosong itu. Hingga suatu hari mulai lah Soni ingin menguji ilmunya, sekitar jam 10 pagi dia sengaja datang ke pasar di kota itu.
Ia melangkah tenang, sekarang ia mempunyai semangat yang kuat.
Di tengah pasar di antara keramaian dan jejeran toko-toko, Soni melihat tiga orang pria sangar berbadan besar sedang bicara pada seorang pelayan toko.
“Hei, mana bosmu !” kata Seorang pria besar membentak kepada seorang karyawan wanita di toko itu.
“Bos kami ada di dalam, ada perlu apa kalian mencari bos kami, kalau kalian mau belanja silahkan saja saya yang akan melayani.” Kata karyawan wanita itu dengan berani tanpa rasa takut. Dia tau mereka adalah preman pasar yang setiap minggu meminta uang kepada bosnya.
“Kurang ajar !” Kau sudah bosan kerja di sini ya ?! atau kau tak tau dengan siapa kau bicara !” Pria itu membentak.
“Hahahaha…” Seorang lagi dari preman itu tertawa lalu berkata.
“Kau manis juga, tapi galak, sepertinya kau cocok jadi pacarku.”
Ketiga preman itu pun tertawa mendengar ucapan salah seorang temannya. Soni hanya memandang dan memperhatikan dari jarak beberapa langkah, semua orang di pasar yang mengenal preman itu seakan tak mau ikut campur dan memilih menjauh.
“Hei kalian ! tiga kerbau berbadan besar cuma berani menggangu wanita, coba kalian tunjukkan padaku seberapa hebat kalian !” Soni berkata pada ketiga preman itu.
Seketika mereka melihat ke arah Soni.
“Hei, orang gila pergilah atau kupatahkan gigi-gigimu !” Seorang dari mereka membentak dan menggertak Soni.
“Kalian yang gila, aku kesini mau belanja, dan kalian menganggu saja di sini, pergilah kalian atau tunjukkan padaku seberapa hebat kalian ini !” Kata Soni lantang.
“Orang gila cari mati, rasakan ini !” Dengan cepat seorang dari preman itu melayangkan tinju besarnya ke wajah Soni.
Soni hanya tenang dan melihat tangan kekar itu bergerak ke arah wajahnya lalu ia cuma memiringkan badan dan dengan cepat ia melancarkan pukulan kuat ke arah perut.
“Buukk !!” Heegh !” Seketika pria besar itu terduduk dan jatuh memegang perutnya seakan habis dihantam sesuatu yang kuat. Pria itu muntah-muntah menahan sakit.
Melihat temannya jatuh, kedua preman itu serentak menyerang ke arah Soni.
Soni melihat gerakan kedua orang itu, sebelah kiri dari depan melayangkan pukulan ke arah wajahnya, yang kanan depan melayangkan tendangan ke arah pinggangnya. Dengan cepat Soni menangkis pukulan dan melancarkan tinju ke muka orang sebelah kiri sambil kakinya ditekuk keatas menangkis tendangan dari sebelah kanan dan dengan cepat pula menyusul tinju tangan kirinya ke muka orang di sebelah kanan.
“Pakk !” Pukk!” Kedua orang itu roboh dengan hidung mengucur darah. mereka coba bangkit lalu terjatuh karena pandangan mereka nanar.
“Hei, kalian dengar sekarang, namaku Soni ! mulai detik ini seluruh wilayah ini akan aku kuasai, tak ada lagi pemerasan di setiap toko, dan nanti malam aku akan datang untuk menantang pimpinan kalian di tengah pasar, sekarang pergilah kalian !” Kata Soni lantang kepada ketiga preman yang merintih duduk kesakitan. Soni kemudian menggertak seperti hendak memukul kembali, maka ketiga preman itu cepat bangkit dan lari tunggang langgang.
Setelah preman-preman itu pergi, barulah orang-orang di sekitar berani mendekat dan berkerumun, mata mereka tertuju ke Soni, seakan baru menyaksikan film laga, dengan heran mereka bicara dan berbisik.
Sebagian ada yang telah mengenalnya sebagai pemuda gelandangan yang jarang bicara, Soni tak pernah mengganggu atau merusak di wilayah itu, sebagian lagi menduga-duga siapakah pemuda yang seperti penampilan orang gila dengan pakaian kumal itu.
“Sudah, tak ada apa-apa, mulai detik ini kalian akan tenang karena tak akan ada lagi pemerasan di toko-toko kalian, sekarang bubarlah.” Kata Soni kepada orang-orang yang berkerumun di sekelilingnya. Akhirnya orang-orang itu pun perlahan bubar.
“Terima kasih mas, sudah mengusir preman-preman tadi dari toko kami.” Kata seorang bapak yang adalah pemilik toko itu kepada Soni. Pemilik toko itu sejak tadi menyaksikan keributan di depan tokonya ketika preman itu dirobohkan oleh Soni.
“Tak apa-apa pak, karyawan bapak ini yang hebat, berani menghadapi mereka.” Soni bekata sambil menunjuk ke arah wanita muda yang berdiri di samping bapak itu.
Seketika wajah wanita yang di tunjuk Soni itu merona merah, dan menunduk malu, kemudian ia menatap lagi ke Soni. Di lihatnya wajah Soni sebenarnya tampan, hanya kumal dan pakaian dekil yang membuatnya seperti orang gila.
Soni kemudian menoleh ke arah toko, dilihatnya banyak pakaian yang bagus, kemudian dia mengeluarkan lembaran uang dari kantong celananya dan menghitung uang itu, jumlahnya semua 170 ribu, itulah semua uang yang berhasil ia kumpulkan selama tiga bulan, terkadang ia rela puasa demi mengumpulkan uang itu.
“Berapa harga termurah pakaian di toko ini pak ?” Kata Soni bertanya pada pemilik toko.
“Oh, mas mau pakaian di toko kami ? silahkan mas, kalau ada yang suka pilih saja, soal harga tak perlu dipikirkan, mari.. mari.. pilih saja kedalam.” Kata pemilik toko dan mempersilahkan Soni masuk ke tokonya.
“Rini, tolong pilihkan pakaian yang dia suka, jangan diambil uangnya.” Bisik pemilik toko kepada karyawan wanita tadi.
“Baik pak.” Jawab karyawan wanita itu singkat.
“Silahkan saja ya mas, maaf saya tinggal masuk dulu kedalam karena masih ada pekerjaan, biar Rini kayawan saya yang membantu melayani.” Kata pemilik toko kepada Soni lalu melangkah ke dalam toko.
Soni pun mulai melangkah pelan melihat jejeran baju dan celana di toko itu, di sampingnya ada Rini karyawan wanita yang menemaninya untuk memilih pakaian.
Soni ingin merubah penampilannya yang sudah seperti orang gila, maka sejak mendapatkan semangat hidup yang baru dia pun mulai mengumpulkan uang sedikit demi sedikit selama tiga bulan untuk mengganti pakaian.
“Pakaian di sini semua bagus-bagus, bingung juga mau pilih yang mana.” Kata Soni menyapa Rini.
“Apakah abang mau saya pilihkan pakaian yang cocok ?” jawab Rini sambil tersenyum dari parasnya yang memang manis.
“Terimakasih, kalau tak keberatan memilihkannya untukku, oh ya namanya Rini ya dik ? namaku Soni, maaf kalau penampilanku seperti orang gila.”
“Tak apa-apa bang, sudah tugas saya kok melayani pembeli, saya juga sudah dengar nama abang tadi waktu menghajar preman-preman itu.”
Soni dan Rini mulai akrab, Rini kemudian memilihkan baju dan celana untuk Soni. Soni senang dengan pakaian yang dipilihkan Rini. Setelah baju dan celana itu dibungkus rapi lalu diserahkan ke Soni, maka Soni pun mengeluarkan uang untuk membayar.
Tapi sesuai pesan pemilik toko tadi, Rini menolak uang Soni dan berkata itu adalah pesan bosnya sebagai terimakasih. Soni pun mengucapkan terimakasih karena telah diberi pakaian gratis.
Sejak itulah Soni mulai malang-melintang mencari lawan tanding kepada pimpinan-pimpinan penjahat di kota itu. Setiap ia dikeroyok puluhan musuh saat itu pula ia melampiaskan kemarahan yang selama ini menekan bathinnya.
Dengan beringas ia merobohkan musuh-musuh yang berani bertarung melawannya. Dengan cepat namanya menjadi paling ditakuti dan disegani para penjahat. Hingga akhirnya ia membentuk pasukan dan anak buah yang rata-rata adalah penjahat di kota itu.
*****
Dua hari berlalu sejak Erik mengalami demam dan terbaring sakit, kini kondisinya telah berangsur membaik.
Pagi itu cukup cerah, sinar mentari lembut hangat menyinari dedaunan, jam 10 pagi seperti hari kemarin Erik berencana berjemur di samping rumah untuk mengeluarkan keringat dengan melatih gerakan-gerakan dan latihan pernafasan. Ia pun keluar kamar dan berjalan melewati ruang depan yang kebetulan ada abangnya sedang duduk ngopi sambil membaca koran.
“Bang Heri tak berangkat kerja ?” Sapa Erik kepada abangnya.
“Hari ini abang libur dulu rik, eh coba lihat berita di koran ini rik, semalam telah terjadi perampokan di rumah orang kaya, tiga penjaga rumah tewas dibunuh karena coba melawan perampok.” Kata bang Heri menjelaskan berita yang ada di koran itu.
Erik sejenak terbayang cerita pak Samsul tentang Soni, ah semoga saja bukan Soni pelakunya, kata Erik dalam hati.
Kemudian bang Heri coba menyalakan TV yang ada di ruangan itu, benar saja berita itu jadi berita utama di layar TV. Tampak di layar TV seorang reporter meliput situasi di TKP, rumah korban dipasang police line dan tampak pula banyak polisi yang sedang melakukan pemeriksaan.
Reporter di TV itu menyebutkan kepolisian belum bisa memastikan siapa pelakunya, tapi berdasarkan saksi-saksi di sekitar lokasi, pimpinan perampok berkaca mata hitam dan sama persis dengan ciri khas Soni yang selama ini menjadi target nomor satu dari pihak kepolisian.
Erik terdiam dan menghela nafas, dugaannya benar pasti Soni pelakunya. Ia pun keluar rumah dan melanjutkan latihan di samping rumah.
Erik duduk di sebuah bangku dengan dada telanjang, tampak keringat dari dadanya yang kurang berisi, tapi dapat terlihat bentuk rangka dadanya yang bidang dengan susunan tulang yang besar. Sinar matahari menyengat kulitnya, sesekali ia berbalik dan membiarkan punggungnya menyerap hangatnya sinar yang menyusup ke seluruh pori-pori dan sel-sel dalam tubuhnya. Setelah di rasa cukup ia pun pindah duduk di teras depan rumah sambil menikmati segelas kopi.
Erik penasaran ingin mencoba dan melatih ilmu teleportasinya. Tapi ia sedikit ragu kalau nanti tubuhnya akan kembali panas dan demam, apalagi ketika latihan kemunculannya di suatu tempat akan kasar dan membuatnya terhempas. Ia coba berfikir dan meyakinkan diri, untuk menghindari benturan, Erik memilih latihan yang mudah, yaitu menggunakan teleportasinya menghilang dari teras dan muncul di kasur tempat tidurnya. Mulailah dia konsentrasi mengatur pernafasan secara tenang.
“Wuusss !” Tubuh Erik lenyap dari teras rumah.
“Buukk !” Ia terjerembab di kasur, lalu Erik keluar lagi ke teras sampai berulangkali melakukan latihan teleportasi, begitulah ia latihan, sampai berhenti ketika benar-benar menguasainya secara halus. Untung saja abangnya yang berada di ruang depan sedang tertidur di sofa, jadi tak mengetahui Erik mondar-mandir ketika latihan.
*****
Di suatu tempat. Di sebuah ruangan besar yang tampak di situ berkumpul puluhan pria bertampang sangar, terlihat pula seorang berkaca mata hitam yang tak lain adalah Soni, ia berdiri dengan wajah beringas di depan tiga orang yang sedang berbaris duduk di sebuah pipa baja besar dan panjang seperti pipa gorong-gorong.
“Pakk !” Pikk !” Pukk!!” Terlihat Soni menampar ketiga pria itu.
“Bodoh kalian ! sudah ku katakan jangan ada pembunuhan ketika beraksi !” Soni membentak marah kepada ketiga orang itu yang merupakan anak buahnya sendiri.
“Tapi bos, kami hanya membela diri, nyawa kita terancam karena dia menggunakan senjata, kalau penjaga itu tak dihabisi, kamilah yang akan mati.” Kata seorang dari mereka sambil menunduk memegang bibirnya yang pecah berdarah.
Soni hanya berdiri tegak dengan kedua kaki terbuka menatap ketiga orang anak buahnya yang tertunduk tak berani menatap wajahnya.
“Kalian bertiga jangan dulu ada yang keluar dari markas, apalagi melakukan tindakan di luar perintahku.” Kata Soni lalu melangkah meninggalkan ketiga anak buahnya itu, diiringi beberapa orang anak buahnya yang lain keluar dari ruangan itu.
Soni sangat di segani dan di takuti anak buahnya karena sikapnya yang solid membela dan melindungi mereka. Sebagai pimpinan penjahat, Soni tak pernah membunuh orang tanpa alasan, kecuali musuh-musuhnya yang bengis dan kejam yang berniat ingin membunuhnya.
*****
Siang itu sekitar pukul 14:00, Erik kembali duduk duduk di teras depan rumahnya, setelah segar selesai mandi dan selesai pula ia makan siang, pikirannya masih penasaran dengan sosok Soni kakak seperguruannya itu. Ada pertanyaan dalam benaknya kenapa Soni bisa menjadi seorang perampok bank dan jadi pimpinan penjahat.
Erik coba mengingat data dan informasi yang ia dapat dari pak Samsul beberapa hari yang lalu, sesuai dengan yang ia dengar dari cerita pak Samsul, Soni adalah murid si nenek yang ketiga, dan Soni diangkat sebagai murid sekitar lima tahun yang lalu. Berarti ilmu Soni diperkirakan matang sekitar dua atau tiga tahun setelah menerima ilmu dari nenek gurunya itu. Erik coba berkonsentrasi menggunakan teleportasinya untuk meneropong dan melihat apa yang terjadi pada Soni sekitar tiga tahun kebelakang.
Tapi untuk menggunakan tubuhnya secara langsung pergi ke dimensi tiga tahun yang lalu Erik tak berani, karena terlalu berbahaya, tekanan gelombang dan frekwensi yang akan ia lalui pasti sangat tinggi, dan ia harus minta petunjuk gurunya untuk melakukan hal itu. Maka diputuskannya untuk menggunakan media Hp saja.
Mulailah Erik memegang Hp nya, dengan memusatkan seluruh energi dan tenaga dalam, ia berkonsentrasi penuh membayangkan Soni, semua bayangan itu ia salurkan ke Handphone yang ia pegang. Tak lama layar Hp itu pun menyala dengan gambar bergaris-garis, seperti menonton video dari Hp yang rusak LCD nya. Erik pun memperhatikan kejadian yang terputar di layar Hp itu, walau tak begitu jelas tapi sedikit memberikan gambaran.
Terlihat pada suatu malam Soni berjalan mendekati pagar sebuah pekarangan rumah, tapi Soni berhenti di depan pagar karena melihat pagar itu di gembok dan ada segel dengan tulisan. “Rumah ini disita oleh pihak bank.”
Rumah itu tak lain adalah rumah kedua orang tua Soni yang telah beberapa tahun ia tinggalkan karena ia diusir ayahnya. Soni bermaksud hendak menemui ibunya karena sangat rindu dan ingin melihat kondisi orang tuanya. Tapi apa yang terjadi rumah itu telah kosong. Soni seakan tak percaya dan melesat cepat melompati pagar itu dan dengan cepat pula telah berdiri di depan pintu rumah. Pintu rumah pun dilihatnya telah digembok, akhirnya ia keluar pagar dan mencoba bertanya kepada tetangganya.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu rumah tetangganya yang berada di sebrang jalan, akhirnya pemilik rumah keluar dan memberikan keterangan.
Saat itu usaha ayahnya bangkrut dan terlilit hutang bank. Karena tak mampu membayar tagihan bank maka rumah orang tuanya itu akan di sita dan diberikan tempo waktu untuk mengosongkan rumah secepatnya.
Mendengar pihak bank akan menyita rumah dan merasa terusir dari rumahnya, maka ibunya sakit jantung dan meninggal di rumah sakit. Seminggu kemudian ayahnya pun sakit dan meninggal menyusul ibunya. Jasad kedua orang tua Soni dimakamkan oleh warga sekitar di pemakaman umum di daerah itu.
“Tidaaaaaaaaaakkkk…..!!” “Ibuuuuuu….!” Teriak Soni keras lalu terduduk dan menangis. Hatinya terasa teriris pedih. Malam itu seakan telah mengoyak-ngoyak bathinnya, kejadian itu menoreh luka yang terbalut dendam kusumat.
Erik merasakan Hp di tangannya sangat panas, dan layar di Hp pun meredup lalu mati. tampak Hp itu mulai mengeluarkan asap. Erik dengan cepat mengeluarkan kartu sim dari Hp itu, dan benar saja dugaannya, Hp itu pun terbakar sampai hangus setelah Hp itu ia lempar ke tanah.
Bersambung ke Bagian 5