Surja

  • Cerita Bersambung
  • Penulis : Rudi Skay

SEORANG pemuda terlihat sedang memasukkan beberapa ular pyton besar kedalam sebuah kotak, rambutnya gondrong sebahu. Tampak butir peluh dari kulitnya yang sawo matang, dengan tubuh berotot yang bertelanjang dada.

Pemuda itu bernama Surja, usianya sekitar 17 tahun, ia baru saja selesai melakukan pentas pertunjukan seni beladiri di tengah keramaian.

Ia mempertunjukkan kemampuan manusia di luar kebiasaan umumnya, seperti pertunjukan kebal senjata tajam, kebal api dan lain-lain.

Surja bertualang ke berbagai tempat melakukan berbagai pertunjukan menemani ayahnya yang dikenal sebagai seorang jawara.

Sejak kecil ia hidup bersama sang ayah, setiap hari Surja membantu ayahnya bekerja sambil menyerap pelajaran dan berlatih ilmu kanuragan dari sang ayah.

Hingga suatu masa, Surja terpaksa harus berpisah dengan sang ayah. Surja mencintai seorang janda, maka ia meminta restu sang ayah untuk menikahi wanita itu.

Tapi sang ayah tidak merestuinya, hingga suatu malam sang ayah memanggil Surja untuk berbicara.

“Surja, ayah sama sekali tidak setuju kamu menikah dengan wanita itu, kamu masih muda dan gagah, kamu bisa mencari seorang gadis untuk dinikahi, asalkan jangan dengan janda itu.”

“Maafkan saya ayah, saya tulus mencintainya, dan hati saya sudah yakin ingin menikah dengan wanita itu.”

“Kamu memang keras hati Surja, ayah memberi dua pilihan untukmu, saat ini juga kamu pergi tinggalkan ayah dan lupakan hubungan kita sebagai ayah dan anak, atau kamu lupakan janda itu dan tetap hidup bersama ayah !”

Maka malam itu juga Surja memutuskan pergi meninggalkan ayahnya, dengan hanya membawa pakaian beberapa helai di dalam kantong plastik, Surja melangkah dan berlalu di kegelapan malam.

Hati antara kedua ayah dan anak itu sama-sama pilu dan hancur malam itu.

Hari ke hari Surja hidup dari jalanan, kadang ia tidur di terminal dan terkadang pula ia tidur di bekas gerbong kereta. Kehidupannya keras di dunia hitam.

Ia mempraktekkan semua ilmu yang selama ini ia pelajari dari sang ayah untuk bertahan hidup di jalanan.

Setelah beberapa bulan kemudian, Surja pun akhirnya menikahi janda itu, ia tinggal di rumah mertuanya untuk beberapa saat.

Sekian tahun berlalu Surja pun sudah mulai mapan dan merenovasi rumah mertuanya yang terbilang sederhana itu menjadi rumah yang cukup mewah.

Namun, lambat laun Surja merasa tak nyaman tinggal di rumah mertuanya, walau mertuanya baik dan sayang kepadanya. Ia merasa harus mandiri dan menjadi seorang kepala keluarga yang tinggal di rumahnya sendiri.

Maka pada suatu hari Surja mengutarakan niatnya pada mertua dan sang istri.

“Pak, bu.. sepertinya saya tak mungkin terus-terusan tinggal bersama ayah dan ibu di sini, saya ingin mencoba mandiri, saya berniat mengontrak sebuah rumah sampai nanti ada rejeki saya akan membangun rumah sendiri.” Kata Surja kepada kedua mertuanya dan di hadapan istrinya itu.

“Kenapa mas ? kurang apa tinggal di sini ? mas di sini dilayani dengan baik, kita bisa kumpul bersama ayah dan ibu, di sini kita sudah enak mas, mau gimana lagi mas ?” Jawab sang istri.

“Justru itulah dik, saya sebagai lelaki merasa tak bisa begini terus, saya pun ingin kita mandiri membentuk rumah tangga kita sendiri.”

“Pokoknya aku tak mau ninggalin ayah dan ibu mas, aku paham apa maksud mas.” Jawab istri Surja.

“Ya, kalau memang itu keputusan kamu tak apa-apa dik, saya berniat ingin merantau ke kota besar, izinkan saya besok berangkat pergi, setelah di kota nanti saya akan memberi kabar bila saya sudah dapat tempat tinggal, dan adik bisa menyusul nanti bila masih menganggap saya sebagai suami” Kata Surja menjelaskan.

Setelah panjang lebar bermusyawarah dengan mertua dan istrinya, maka keesokan harinya Surja berangkat pergi merantau ke kota besar, istrinya hanya bisa menangis melepas kepergian Surja.

*****

Hari berlalu, waktu berganti. Setahun sudah Surja di kota besar, hingga suatu hari Surja mendapat kabar bahwa istrinya ingin minta cerai.

Setelah ditanyakan oleh Surja kenapa istrinya ingin bercerai, ternyata istrinya telah jatuh cinta dengan seorang pemuda yang tak lain adalah seorang murid Surja, dan istrinya ingin menikah dengan pemuda tersebut.

Surja hanya bisa menghela nafas panjang, ia harus merelakan kenyataan. Di balik rasa murka dan kecewa, Surja mampu menaklukkan dirinya. Maka direstuinya permintaan istrinya itu dan ia pun cerai.

Demi memegang prinsip, Surja melepaskan kehidupan nyaman bersama istrinya itu. Dan ia malah memilih pergi ke kota mencari pengalaman hidup baru.

Di kota, Surja tinggal di sebuah kontrakan dan bekerja sebagai seorang Photografer, karena kebetulan ia memiliki sebuah kamera. Maka setiap hari ia pun berkeliling mencari rejeki dengan memanfaatkan kamera tersebut.

Hingga suatu malam, Surja berdiri di depan sebuah poster besar di ruang depan dalam rumah kontrakannya. Surja mengamati poster yang tak lain adalah photonya sendiri. Di poster itu Surja berpose bagai seorang pendakwah gagah sambil menunjuk tangan kedepan.

Photo itu ia ambil dari sebuah acara Isra Miraj ketika ia mendapat job menjadi photografer di acara tersebut.

Ketika acara belum di mulai dan masih sedikit para undangan yang datang, Surja melihat tiang mic di atas panggung. Terlintas dalam pikirannya untuk berphoto dan berpose di atas panggung itu.

Maka Surja meminta seseorang disana untuk memotretnya di atas panggung itu. Surja bergaya persis bagai sedang berdakwah di depan mic, dengan spanduk besar bertuliskan Isra Miraj di belakangnya.

Sedang asik Surja mengamati poster itu tiba-tiba pintu rumahnya terdengar ada yang mengetuk.

“Tok ! tok ! tok !”

“Assalamualaikum.” Sang tamu memanggil sambil mengetuk pintu.

“Waalaikumsalam.” Jawab Surja sambil membukakan pintu dan mempersilahkan tamunya masuk.

Selama tinggal di kontrakannya itu, Surja pun di kenal sebagai seorang paranormal yang sering membantu mengobati warga sekitar, dari kesurupan, sampai pengobatan alternatif lainnya.

Maka tak heran bila ada saja orang datang kerumahnya itu untuk meminta pengobatan.

Tamu yang mengetuk pintu tadi pun datang untuk minta pengobatan kepada Surja.

Surja menjamu tamunya dan mengobati apa keluhan tamunya itu. Setelah itu mereka berbincang-bincang sebentar. Tamunya melihat poster Surja bagai pendakwah di dinding ruangan itu.

“Wah, mas ternyata seorang pendakwah ya ?” Kata sang tamu.

“InsyaAllah.” Jawab Surja merasa malu karena ia merasa bukanlah seorang pendakwah.

Setelah sang tamu pamit pergi, Surja kembali memandang poster itu, ia merasa malu, ia merasa seperti membohongi diri sendiri dan semua orang. Maka ia harus mengambil keputusan. Mencopot poster itu atau mewujudkan dirinya seperti gambar di poster itu.

Jangankan jadi seorang pendakwah, ngaji membaca ayat dia tak bisa, sholat tak pernah. Selama ini kehidupannya keras di jalanan, dan jauh dari pendidikan agama. Hari itu ia seperti mendapat hidayah.

Maka sejak saat itu Surja memutuskan belajar ilmu agama agar poster pendakwah itu bukanlah sebuah kebohongan besar untuk dirinya ataupun orang lain.

Sejak itu pula sebagian orang mengira Surja adalah pendakwah, maka sering orang datang ke rumahnya untuk mengundangnya berdakwah di sebuah acara. Tapi lagi-lagi Surja coba menolak halus dengan berbagai alasan, jadwal penuh dan sebagainya. Karena ia memang belum mampu berdakwah.

Surja semakin merasa tertantang menjadi seorang pendakwah, maka ia pun coba belajar mengaji dari berbagai acara yasinan, ia sengaja duduk di luar agar tak ada yang mengenalinya.

Tapi selalu ada saja orang yang mengenalnya dan menyuruhnya duduk di dalam bersama para sesepuh dan ulama di acara itu. Terkadang ia diminta memimpin yasinan karena orang mengira Surja adalah seorang ustad atau pendakwah. Tentu saja Surja berkelit dengan alasan sakit gigi atau sariawan karena ia tak bisa memimpin yasinan.

Lambat laun, seiring waktu berjalan, Surja pun akhirnya mencari dan mendapatkan beberapa guru tempat ia memperdalam ilmu agama. Terkadang ia latihan berdakwah berjam-jam di depan poster di ruangan rumahnya itu.

Setelah beberapa bulan berlalu, berbekal hafal beberapa ayat yang ia pelajari dan menguasai sedikit teknik berdakwah maka Surja coba memberanikan diri menerima sebuah undangan ceramah.

Surja di undang ceramah di suatu tempat, ia mengira paling-paling acara tempat ia ceramah nanti adalah acara kecil yang dihadiri beberapa orang saja.

Tapi apa yang terjadi semua di luar perkiraannya, Surja di undang ke sebuah acara besar yang dihadiri ribuan orang. Tentu saja Surja gemetaran dan gugup karena acara itu adalah ceramahnya untuk yang pertama kali.

Andai saja ia tau acaranya sebesar itu mungkin Surja akan berkelit dan menolak dengan berbagai alasan. Tapi ia sudah terlanjur ada di lokasi acara, dan harus ceramah di sana, maka ia pun naik ke panggung setelah namanya dipanggil panitia.

Dengan langkah lemas, dengkul gemetar, keringat dingin, ditambah perasaan yang campur aduk tak karuan, Surja naik ke atas panggung. Semua ayat yang dihafalnya dari rumah hilang sudah, tak ada ayat yang dapat diingatnya secara jernih saat itu. Maka setelah mengucap salam pembuka Surja hanya terdiam di atas panggung.

Apa yang ingin ia sampaikan di depan ribuan umat ? Ya Tuhan, tolong selamatkan aku pada situasi ini. Katanya dalam hati.

Pada saat itulah ia teringat bahwa ia adalah seorang yang biasa mengadakan pertunjukan, ia sudah biasa berhadapan dengan orang banyak saat mengadakan pertunjukan bersama sang ayah, maka daripada ia hanya diam di atas panggung akhirnya ia panjang lebar cerita tentang santet dan dan sebagainya.

Sejak saat itu Surja semakin tekun memperdalam ilmu agama, di mana ada ulama besar berceramah maka ia pun hadir untuk mempelajarinya.

Beberapa tahun kemudian, Surja akhirnya bisa berdakwah semakin lancar dan lebih baik.

Namanya pun mulai banyak dikenal orang dan ia banyak memiliki rekan-rekan pendakwah. Surja akhirnya membentuk sebuah komunitas umat, Surja menyadari dirinya belum mampu menghafal seluruh isi Al-Quran, maka ia berkeinginan untuk menciptakan anak-anak yang kelak hafal Al-Quran.

Maka Surja mendirikan sebuah pesantren di suatu daerah. Pesantren tersebut adalah pesantren hafiz Al-Quran untuk anak-anak tanpa dipungut biaya. Sebuah pesantren gratis.

Surja kemudian mulai membagun bisnis, dan bisnisnya pun semakin lama semakin lancar dan maju. Di saat finansialnya bagus, Surja mengadakan sidak mengunjungi tempat orang-orang miskin untuk menyalurkan bantuan. Mengirim beras, membangun rumah rakyat miskin yang hancur akibat bencana, membangun masjid dan sebagainya.

Selama berdakwah Surja memberikan ceramah yang sejuk dan damai. Tapi semuanya berubah disaat terjadi pergantian kepala pemerintahan.

Ceramah Surja berubah menjadi ganas dan lantang menyuarakan kebenaran. Ia menentang pemimpin yang dinilainya dzolim.

Dalam waktu singkat saja Surja mendapat banyak serangan dari musuh. Tapi ia tetap bersuara lantang memaki raja baru yang dianggapnya dzolim. Surja berani membongkar kebobrokan para pejabat istana dan menentang semua kebijakan istana yang menyengsarakan rakyat.

Surja bicara di atas mimbar bagai singa, ia berkata tanpa basa-basi yang membuat telinga sang raja panas mendengarnya.

Hingga suatu malam, Surja didatangi beberapa pasukan dari istana, Surja menghadapi para prajurit dengan tenang. Para prajurit datang menawarkan hadiah dan harta agar Surja bungkam dan jangan lagi bersuara lantang menyudutkan istana.

Tapi tawaran itu ditolak Surja dengan tegas, ia tetap akan membela kebenaran sampai raja berlaku adil dan membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil.

Maka para prajurit itu meninggalkan Surja dengan rasa kecewa. Dua hari kemudian, ratusan orang mengadakan unjuk rasa menuntut agar Surja ditangkap, Surja dituduh menyebar ujaran kebencian pada istana dan memecah belah persatuan rakyat.

Maka Surja pun akan diseret ke pengadilan dan akan dihukum di hari berikutnya. Tapi apa yang terjadi, bencana melanda wilayah itu. Tsunami dan gempa dahsyat meluluh-lantakkan gedung pengadilan yang akan memvonis Surja. Dan ratusan orang yang kemarin menuntut Surja semuanya tewas disapu badai Tsunami.

Walau gempa sangat kuat tetapi ajaib, pesantren yang didirikan Surja tetap berdiri kokoh tanpa rusak sedikitpun. Sedangkan bangunan dan rumah-rumah yang ada di sekeliling pesantren itu banyak yang rusak dan roboh.

Maka pesantren itu dijadikan Surja sebagai posko bantuan untuk masyarakat yang terkena bencana. Pesantren itu menjadi pusat bantuan untuk menyalurkan sandang, makanan, dan obat-obatan.

Setelah kondisi membaik, Surja kembali berdakwah, ia melakukan safari dakwah ke seluruh daerah. Maka ia pun banyak mendapat gelar adat dari suatu daerah yang dikunjunginya setiap melakukan dakwah.

Dakwahnya sangat berani, terang-terangan menampar kehormatan sang raja, Surja menyuarakan membela rakyat kecil, kebijakan istana yang arogan membuat Surja murka, Surja mencaci-maki kebobrokan para pajabat istana yang merajalela melakukan korupsi dan selalu menipu rakyat.

Beberapa kali Surja diancam dan akan dibunuh, tapi ia mampu melewatinya dengan selamat. Banyak para sahabatnya yang ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara karena melawan pihak istana.

Di tengah kekacauan dan amburadulnya situasi negeri itu, Surja tetap membantu rakyat kecil dengan menyalurkan bantuan beras dan uang, sesekali ia membangun rumah warga yang tak layak huni. Dan beberapa kali usahanya membangun pesantren di beberapa tempat digagalkan para musuhnya.

Hingga suatu ketika, Surja dijemput paksa dirumahnya oleh beberapa pasukan prajurit disaat tengah malam. Surja dituduh telah membuat keresahan dan menghasut rakyat. Maka malam itu juga Surja dibawa ke istana untuk dijebloskan ke dalam penjara.

Surja menghadapi semua itu dengan tenang. Karena ia merasa berdiri di atas jalan yang benar, tak ada ketakutan atau kegelisahan dari raut wajahnya.

Keesokan harinya beritapun tersebar, Surja telah di penjara dan dihukum dengan tuduhan melakukan pembangkangan dan menghasut rakyat untuk melawan raja. Dan Surja divonis hukuman penjara tanpa waktu yang dipastikan.

Selama di dalam penjara, Surja justru menemukan ilmu baru. Ia lebih banyak waktu untuk menemukan rahasia hikmah di balik setiap peristiwa kehidupan, raganya terkurung tetapi jiwa dan pikirannya bebas lepas merdeka.

Banyak di antara manusia yang raganya bebas tapi jiwanya terbelenggu, terjajah oleh nafsu diri sendiri.

Hari berganti, waktu pun berlalu, Selama di dalam penjara Surja diperlakukan dengan baik. Tak ada seorang prajurit pun yang kasar atau melakukan tindak kekerasan terhadapannya. Entah kenapa semua prajurit merasa segan untuk berlaku kasar kepada Surja.

Pernah suatu malam, seorang perwira prajurit yang dikenal kejam ingin memberi pelajaran dan berniat untuk menyiksa Surja. Tapi niatnya berubah setelah bertatapan mata dengan Surja. Perwira itu merasa Surja tak pantas untuk disiksa, maka ia pun segera pergi meninggalkan Surja yang sedang berzikir di dalam tahanan itu.

Bersambung…

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai