Karena Kita Berbeda

  • Cerpen
  • Pengarang : Rudi Skay

Kisah ini menceritakan tentang sepasang insan yang menjalin kasih asmara dalam perbedaan agama.

– Selamat Membaca –

*****

AKU terbangun saat hawa dingin kurasa menghembus tubuhku.

Kucoba membuka mata walau rasa kantuk masih berat di kelopak mataku.

Aku tidur di ruang depan sebuah rumah kontrakan yang baru kusewa dua hari yang lalu bersama kakakku.

Kulihat pintu sedikit terbuka, hmm,, pantas saja dingin. Jam menunjukkan pukul 06:30, pasti kakakku sudah bangun pagi itu dan membiarkan pintu rumah sedikit terbuka.

Hari itu hari minggu, aku biasa libur kerja dan sengaja ingin bangun siang. Kudengar suara sapu lidi orang yang sedang menyapu di depan rumah.

Aku kembali menarik selimut dan ingin melanjutkan tidur karena masih merasa ngantuk.

Sambil tiduran kucoba memejam mata, tanpa sengaja aku melihat seorang gadis yang sedang menyapu dari celah pintu rumahku yang sedikit terbuka itu.

Aku belum begitu mengenal para tetanggaku yang ada di barisan depan ataupun jajaran samping rumah kontrakan yang baru kusewa itu, karena aku adalah penghuni baru di situ.

Mataku mulai memperhatikan gadis itu, rambutnya lurus panjang sebahu, bertubuh ramping berkulit putih.

Ah, ada-ada saja pemandangan pagi itu, dan akhirnya akupun kembali tertidur setelah gadis itu tidak terlihat lagi dari pintu rumahku karena meneruskan menyapu sampai ke halaman ujung.

*****

Setelah hari berganti siang, aku telah bangun dari tidur dan duduk santai mendengarkan musik sambil menikmati segelas kopi.

Sedang asyik aku menyimak iringan lagu, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara seseorang yang mengetuk pintu rumahku yang sengaja terbuka lebar.

“Tok ! tok ! tok !”

“Permisi bang.”

Aku menoleh ke arah pintu, oh ternyata gadis yang pagi tadi kulihat, tampak ia tersenyum berdiri di depan pintu rumahku.

Akupun segera berdiri dan menghampirinya.

“Maaf bang mengganggu, saya Rosa tetangga depan, saya bermaksud mau pinjam obeng, apakah abangnya punya ?” Gadis itu coba menyapa dan menjelaskan niatnya.

Kami pun berkenalan singkat sebagai tetangga baru.

“Sebentar ya dek, saya ambil dulu obengnya.” Kataku, lalu akupun melangkah ke arah mobil yang kuparkir di samping rumah.

Namaku Rio, usiaku tepat 33 tahun pada bulan ini. Aku bekerja sebagai sopir angkutan kota atau angkot. Dan setiap hari minggu aku libur karena waktunya untuk mobil angkotku itu secara rutin cek kelayakan dan kesehatan sebagai perawatan.

Rosa mengiringiku melangkah ke arah mobil.

“Memangnya obeng buat apaan sih dek ? Cewek kok mainannya obeng ?” Aku coba bertanya padanya.

“Buat membuka itu bang, colokan kabel listrik, dari kemarin-kemarin sudah goyang, sekarang kipas angin sama TV sudah nggak mau nyala lagi kalau dicolokin.” Jawab Rosa menjelaskan.

“Oh, memangnya adek bisa memperbaikinya ?” Tanyaku lagi sambil membuka pintu mobil dan mengambil sebuah obeng dari dashboard.

“Sebenarnya saya nggak ngerti sih bang, takut juga kesetrum, tapi mau minta tolong siapa ?” Jawabnya lagi.

“Oh begitu, ya sudah bagaimana kalau saya coba bantu perbaiki, daripada kamu yang bongkar nanti korslet, kacau bisa habis semua rumah kontrakan ini terbakar.” Kataku setengah bercanda.

“Saya jadi ngerepotin, terimakasih bang.” Kata Rosa tersenyum malu dan gadis itu terlihat senang.

Rosa tinggal di depan rumahku bersama ibunya yang sudah lanjut usia.

Ia gadis yang mandiri, bekerja sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan dan menjadi tulang punggung keluarga.

Awalnya aku tidak menaruh perasaan apa-apa dan biasa saja padanya. Tapi lambat laun, semakin hari selalu bertemu membuat perasaanku menjadi berubah.

Parasnya biasa saja bila sepintas terlihat, tapi bila kuperhatikan agak lama, manis dan cantik juga gadis itu.

Semua berawal ketika setiap pagi aku berangkat kerja mengoperasikan mobil angkotku setelah selesai subuh.

Ketika pagi yang masih sedikit gelap, aku sedang memanaskan mesin mobil untuk bersiap berangkat. Kulihat Rosa sudah rapi dan melangkah ke arahku, entah mau kemana dia pagi itu.

“Pagi dek, mau kemana pagi-pagi sudah rapi ?” Tanyaku.

“Berangkat kerja bang, mobilnya sudah mau jalan ya bang ?”

“Iya, ini mau jalan, ayo kalau mau berangkat bareng.” Kataku sambil melangkah ke pintu mobil dan segera mengoperasikan angkot pagi itu.

Kantor tempat Rosa bekerja kebetulan searah dengan rute mobil angkutan yang kubawa.

Maka setiap pagi kami selalu berangkat kerja bareng. Terkadang ketika hari telah malam disaat aku sedang nyetir menuju pulang ke rumah, aku selalu bertemu Rosa yang sedang berjalan kaki.

Gadis itu setiap hari pulang kerja berjalan kaki dari jalan raya ke arah jalan menuju rumah, perjalanan kaki yang cukup jauh juga.

“Dek, kok jalan kaki pulang kerja, ayo naik, kita pulang bareng.” Sapaku menghentikan mobil di samping Rosa yang tengah berjalan kaki.

“Eh, bang Rio, iya nih bang sekalian olahraga hehee,,” jawabnya yang sedikit malu lalu ia pun naik ke mobil dan kami pulang bersama.

“Bang, mau nggak ? Ambil saja bang buat cemilan.” Rosa berkata sambil menawarkan bungkusan gorengan padaku. Sementara mobil yang kukemudikan terus melaju.

Setiap pulang kerja aku biasa mampir ke sebuah warung makan di pinggir jalan yang tak jauh dari arah jalan ke rumahku.

“Terimakasih dek, saya belum makan nasi, nanti di depan ada warung pecel lele, kita mampir sebentar ya ? Dek Rosa sudah makan nasi apa belum ?”

Sejenak ia terdiam dan kemudian tersenyum.

“Silahkan bang, nanti abang makan saja dulu, saya kalau malam jarang makan nasi, ini saya biasa kenyang makan gorengan setelah itu tidur.” Jawabnya.

“Waduh, pulang kerja cuma makan gorengan saja dek ? Ayolah kali ini kita lomba makan nasi, saya yang traktir tenang saja.” Kataku menawarkan makan malam bersama.

*****

Hari berganti hari, waktu pun terus berputar. Tidak terasa satu bulan sudah berlalu.

Perasaanku pun mulai tidak menentu, hatiku menaruh simpatik dan rasa iba pada gadis itu. Gawat, sepertinya aku telah jatuh cinta.

Suatu malam, aku berniat menjemput Rosa pulang kerja. Aku ingin bicara mengutarakan niatku padanya. Rasanya aku sudah tidak bisa lagi memendam rasa yang membuat jidatku mulai tumbuh jerawat.

“Tininit..! tininit.. !” Suara handphone dalam saku celanaku berbunyi. Kulihat panggilan masuk dari Rosa.

Ah, kebetulan sekali, seperti tau saja dia kalau aku ingin menghubunginya. Walau dari kemarin-kemarin kami sudah saling tukar nomor Hp, tapi baru kali ini kami bicara di telpon.

“Hallo, iya dek Rosa, tumben telpon, lagi dimana sekarang ?” Aku mengangkat telpon dan bertanya padanya.

“Saya lagi di simpang Dukuh nunggu angkutan umum bang, dari tadi mobilnya jarang yang lewat, sekali ada yang lewat mobilnya penuh, duh mana sudah agak sepi lagi, bang Rio lagi dimana ?”

“Oh ya sudah kamu tunggu saja sebentar disitu, saya lagi di jalan menuju ke sana, sebentar lagi sampai, biar kita pulang sama-sama.”

Setelah bicara singkat di telpon, aku pun meluncur cepat mengemudikan mobilku ke arah yang dituju.

Tidak butuh waktu lama aku sudah sampai di tempat tujuan, terlihat Rosa yang sedang berdiri dan tersenyum ke arahku.

“Ayo dek naik, kita pulang.” Kataku menyapa Rosa dari atas mobilku yang berhenti di depannya.

Setelah ia naik mobil, kami pun berlalu dari tempat itu.

Sepanjang perjalanan pulang aku mencari celah untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Tapi ah, kenapa tiba-tiba aku menjadi gugup dan berat mengatakannya.

Kemarin-kemarin aku biasa saja bercanda dan tertawa bersama, kenapa saat itu ada rasa kaku yang membuat lidahku berat untuk bicara.

“Kenapa bang, kok dari tadi seperti ada yang dipikirin ? Ada masalah ya ?” Rosa berkata seolah menangkap sesuatu yang tidak beres pada diriku.

Pertanyaan Rosa seperti menjadi celah masuk untukku mengutarakan cinta malam itu.

“Tidak ada apa-apa kok dek, cuma ada hal yang serius ingin saya sampaikan pada dek Rosa.”

“Mau bicara apa bang, katakan saja, mungkin saya bisa bantu ?” Kata Rosa sedikit penasaran.

“Begini dek, akhir-akhir ini saya sulit tidur, pikiran saya sering menerawang memikirkan dek Rosa, sepertinya saya jatuh cinta sama kamu, maukah dek Rosa menjadi pacar abang ?”

Rosa sedikit kaget dengan mata terbelalak mendengar pernyataanku, ia terdiam dan menunduk, lalu merenung menatap ke arah jalan.

Sesaat kami hanya terdiam dengan pikiran masing-masing.

Aku mulai merasa tidak nyaman, firasatku mengatakan ini pertanda buruk bahwa cintaku akan ditolak. Rosa pun akhirnya bicara memecah kebisuan.

“Maafkan saya bang, saya tidak bisa menerima abang sebagai pacar, saya tidak ingin patah hati.”

“Patah hati bagaimana maksudnya dek ? kita pacaran saja belum, seharusnya abang yang patah hati seandainya cinta abang ditolak.”

“Maksud saya begini bang, bila saya terima cinta abang dan kita pacaran, semakin lama ke depannya akan rumit untuk kita berdua, sedangkan pacaran tujuannya untuk menikah, bagaimana mungkin kita menikah bila agama kita berbeda, saya ini non muslim bang.” Kata Rosa menjelaskan.

Aku terkejut mendengar penuturannya, aku baru tau kalau Rosa ternyata beda agama denganku, sedangkan aku adalah seorang muslim.

“Maafkan abang dek, seandainya saya tau hal ini, mungkin abang tidak akan bicara begini dan akan menahan diri untuk menyukai dek Rosa, sekali lagi maafkan dan sebaiknya kita lupakan saja hal ini.” Kataku coba mencairkan suasana yang mulai terasa canggung.

“Terimakasih bang, iya kita lupain aja, tapi bang Rio jangan marah dan jangan sampai besok-besok tidak mau lagi berangkat pergi kerja bareng.” Kata Rosa mencemaskan sikapku.

Aku coba tersenyum walau hatiku telah getir.

“Jangan khawatir dek, kita kan bertetangga, kita tetap bisa menjadi teman baik, jangan segan bila perlu bantuan.” Kataku tersenyum meyakinkan dirinya.

Malam itu hancur sudah hatiku, cinta yang terlanjur singgah tumbuh di hati terasa menusuk-nusuk jantungku, aku harus menata hatiku agar ikhlas untuk melepas rasa itu pergi.

Aku harus melupakan harapan bersamanya, kuhapus semua bayangan dan angan yang kemarin indah menghiasi setiap malamku.

Sejak saat itu aku tidak lagi memikirkan soal asmara, hari-hari kulalui bersama Rosa hanya sebatas teman saja sebagaimana layaknya bertetangga yang baik, tidak lebih.

Setiap hari kami tetap berangkat kerja bersama, dan kadang Rosa menelponku untuk minta dijemput pulang dari tempatnya bekerja.

Ada yang aneh, sikap Rosa berubah menjadi manja sejak aku manyatakan cinta padanya. Sedangkan aku telah membuang jauh-jauh semua perasaan yang tidak mungkin dan tidak pantas kuteruskan.

Setiap malam saat pulang kerja, kami selalu makan bersama. Terkadang kami berlomba siapa yang paling sedikit makan akan membayar makanan. Rosa selalu menang dan sanggup menghabiskan dua piring nasi, luar biasa, sedang aku hanya sanggup makan sepiring dan makanku memang tidak banyak.

Dua bulan berlalu, kuperhatikan ada perubahan pada tubuh Rosa. Tubuhnya mulai berisi dan seksi dengan pinggul yang semakin padat.

Ah lagi-lagi, aku tidak ingin mempunyai pikiran yang macam-macam kepadanya. Ia gadis yang sederhana yang berjuang menafkahi ibunya.

Kami pun saling menghormati perbedaan keyakinan masing-masing dalam beribadah, dan Rosa adalah gadis yang taat dalam menjalankan ibadah untuk agamanya.

*****

Siang itu, cuaca cukup cerah tidak begitu panas. Saat itu aku tengah mengoperasikan angkot menyisir jalanan mencari penumpang.

Dari arah depan kulihat ada dua orang yang sedang berdiri di pinggir jalan dan menyetop mobilku. Mereka adalah seorang wanita dan seorang lagi lelaki yang aku mengenalnya.

Lelaki itu adalah teman satu profesi denganku, namanya Arman.

“Wah, Rio ternyata yang lewat, numpang dong.” Kata Arman menyapaku saat mobil yang kukemudikan berhenti di depannya.

Mereka berdua lalu naik ke mobil dan duduk di depan yang kebetulan saat itu jok depan sedang kosong tanpa penumpang.

Kami pun ngobrol sambil mobil terus melaju menyusuri jalanan mencari penumpang.

Arman memperkenalkan padaku teman wanita yang duduk di sampingnya itu.

Wanita itu seorang gadis, namanya Rani, ia bekerja sebagai seorang suster atau seorang perawat di salah satu rumah sakit besar di kota itu.

Hari itu Arman libur kerja dan sedang mengantar Rani untuk pulang setelah Rani main ke rumah salah satu teman wanitanya di daerah itu dan mampir berkunjung ke rumah Arman.

Arman dulu pernah bekerja sebagai sopir ambulance di rumah sakit tempat Rani sekarang bekerja. Mereka dulu pernah menjadi rekan kerja dan masih mempunyai hubungan keluarga. Arman seperti malah menjodoh-jodohkan aku dengan kerabat wanitanya itu.

Rani seorang gadis yang berparas manis, rambutnya pendek sedikit tomboy. Ia termasuk cewek yang agresif.

Selama di mobil itu kami banyak bercerita dan Rani sempat meminta nomor telponku agar suatu waktu bisa saling bertukar informasi.

Setelah tiba di sebuah persimpangan lampu merah, Arman dan Rani turun untuk melanjutkan naik mobil jurusan yang lain.

*****

Sore pun tiba, ketika mobilku telah berada di terminal, aku istirahat sejenak di sebuah warung kopi. Mobil kumasukkan ke antrian timer untuk di isi penumpang oleh petugas timer di terminal itu.

Sambil menyeruput kopi, aku coba membuka Hp yang bergetar di saku celanaku.

Kulihat ada pesan masuk yang berisi “Isi ulang pulsa Anda behasil dengan nomor pengisian bla-bla-bla.” dan seterusnya.

Aneh, kapan aku isi pulsa ? Rasanya aku tidak mengisi pulsa hari ini bahkan beberapa hari ini.

Wah, mungkin orang salah nomor saat isi pulsa dan nyasar ke nomorku. Ah, sudahlah nanti kalau ada yang telpon konfirmasi akan kuganti dan ku kembalikan pulsanya.

Setelah beberapa lama istirahat dan tiba giliran mobilku yang sudah terisi penumpang untuk jalan, aku pun berlalu meninggalkan terminal.

*****

Waktu berangsur malam, aku pun selesai bekerja, setelah selesai membersihkan mobil di sebuah cucian mobil dan selesai mengisi bensin, aku pun mengarahkan mobilku menuju pulang.

Di perjalanan Handphoneku berbunyi, Rosa menelponku untuk minta dijemput dari tempatnya bekerja.

Sebenarnya aku enggan dan mulai malas juga harus menuruti permintaannya itu, tapi ada rasa iba juga melihatnya, apalagi membayangkan dia berjalan kaki dari jalan raya ke jalan menuju rumah yang jaraknya cukup jauh.

Akhirnya aku pun memutar mobil dan menuju ke arah tempat ia bekerja.

Setelah sampai di tempat, Rosa pun segera naik ke mobil dan kami pun mengarah pulang.

Rosa tampak ceria dan selalu tersenyum, ia begitu senang setiap aku menjemputnya dari tempat ia bekerja.

“Tinininit…! tinininit…!” Hp dalam celanaku berbunyi dan bergetar. Aku pun coba melihat dan mengangkat telpon.

“Hallo, Assalamualaikum.” Jawabku mengangkat telpon.

“Hallo, Waalaikumsalam, ini nomor bang Rio yang siang tadi kan? ini Rani bang.” Kata penelpon yang ternyata adalah Rani teman Arman siang tadi.

“Oh, dek Rani kirain siapa yang telpon, iya ini saya Rio, ada kabar apa nih ? Dek Rani masih bersama Arman apa lagi di mana ini ?”

“Sudah sampai rumah dari tadi bang, bang Rio lagi di mana ? Masih narik angkot apa sudah pulang ke rumah ?”

“Saya masih nyetir di jalan arah pulang, ya sebentar lagi sampai rumah.”

“Oh, ya sudah kalau gitu nanti saja saya telpon lagi bang, tidak enak kalau ngobrol abangnya masih nyetir, kalau sudah santai di rumah kabarin ya ? Ada yang mau di obrolin sama abang.”

“Okey, nanti saya telpon balik kalau sudah di rumah, saya tutup dulu ya, Assalamualaikum.” Aku pun mengakhiri dan menutup telpon.

Rosa sejak tadi seperti tidak lepas menatapku.

“Seperti suara wanita yang telpon tadi ya bang, kalau boleh tau siapa itu bang ?” Kata Rosa bertanya, wajahnya mulai tampak serius penuh selidik.

“Iya, itu tadi yang telpon namanya Rani, abang tadi siang baru kenalan, dikenalin sama teman abang.” Jawabku menjelaskan.

Rosa tampak terdiam, wajahnya pun berubah seperti murung.

Sepanjang perjalanan pulang, Rosa hanya diam membisu. Ada apa dengan dirinya ? Aku coba mencari jawaban dan mengkoreksi diriku apakah ada perkataanku yang salah terhadapnya.

“Kok diam saja dek, seperti ada yang dipikirkan ? Apakah ada masalah atau ada perkataan abang yang salah ?” Aku coba bertanya padanya.

“Nggak ada apa-apa kok bang, abang nggak salah.” Jawabnya pelan dengan wajah tertunduk, tampak bola matanya berkaca-kaca dan mulai menitikkan air mata.

Aku menjadi bingung melihat Rosa malah menangis. Ada apakah dengannya ?

Bersambung ke Bagian 2

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai