Karena Kita Berbeda (Bagian 2)

AKU menjadi bingung melihat Rosa malah menangis. Ada apakah dengannya ?

“Dek… kamu kok menangis ? coba tenangkan dirimu dek.” Kataku, dan aku pun tidak melanjutkan kata-kata lagi.

Aku tidak mungkin membujuknya untuk berhenti menangis, biarlah ia menangis karena itu adalah salah satu cara untuk melepaskan beban rasa dan meluapkan isi hatinya.

Aku melihat sebuah warung dipinggir jalan, aku pun menepikan mobilku dan berhenti sejenak untuk membeli air minum.

“Sebentar ya dek, abang mau beli air minum.” Kataku pada Rosa yang mengusap-usap matanya dengan tisu, lalu aku pun turun dari mobil dan melangkah ke warung.

Setelah membeli dua botol air minum, aku pun melangkah dan kembali ke mobil.

“Ini dek, cobalah minum dulu siapa tau bisa bikin adek lebih tenang.” Kataku menyodorkan sebotol air minum padanya.

“Nggak ! saya nggak haus dan nggak mau minum !” Katanya seperti nada marah.

Aduh, kenapa lagi dia ? Tadi menangis dan sekarang berubah marah. Ah, wanita memang sulit kumengerti.

“Ya sudah, ini abang taruh di samping kamu kalau nanti adek mau minum, adek harus bicara ada apa semua ini, kalau adek marah pada abang maafkan saja karena abang belum tau persoalannya, kalaupun adek punya masalah bicaralah mungkin bisa kita cari jalan keluarnya.” Kataku.

“Abang sepertinya mau mencari wanita lain, kenapa abang memberikan perhatian padaku kalau abang ingin bersama wanita lain ?!” Kata Rosa dengan suara agak tegas.

Ya Tuhan, rupanya karena itu persoalannya.

“Maafkan abang dek, mungkin semua ini hanyalah salah paham, sejak terakhir abang mengungkapkan rasa ke adek tempo hari, semenjak itu pula abang tidak lagi memikirkan soal cinta, bahkan rasanya tidak ingin lagi merasakan cinta, kejadian waktu itu sudah cukup membuat abang trauma.”

“Bohong !” Buktinya tadi ada wanita yang telpon.”

Aku menepuk jidatku mendengar perkataannya itu lalu berkata. “Apakah adek cemburu ?”

Rosa menoleh menatapku, kami pun beradu pandang, kulihat tatapannya lurus memandangku, mataku menembus relung jiwa dari bening bola matanya yang polos.

Pasrah. Itulah kesan yang tersirat kudapati dari balik tatapan itu.

kulihat ada sisa bekas air mata di pipinya.

Kuambil selembar tisu dan ku sodorkan kepadanya.

“Terus sekarang adek maunya bagaimana ?” Aku berkata pelan sambil menurunkan rem tangan yang ada di samping tempat dudukku, mobil pun mulai berjalan lagi dan kembali melanjutkan perjalanan untuk pulang.

“Saya merasa berbeda sejak mengenal abang, saya merasa tidak lagi sendiri melewati hari-hariku yang selama ini terasa begitu berat, abang tidak pernah menuntut apa-apa walau saya selalu merepotkan, sekalipun abang tidak bilang sayang tapi perlakuan abang padaku lebih dari itu, abang juga layak mendapat perhatian, saya menerima cinta abang dan tidak ingin melihat abang pacaran dengan wanita lain.”

“Apakah adek yakin dengan apa yang baru saja dek Rosa ucapkan ? sedangkan kita sama-sama tau kalau ada pembatas di antara kita dan itu tidak mungkin kita langgar dek.”

“Tadinya saya pun berpikir begitu bang, tapi setelah saya pikir lagi, saya tidak ingin rasa bahagia yang baru saja hadir menjadi hancur, dan esok pagi saya tidak ingin jatuh sakit dan bersedih, kenapa abang mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi di masa mendatang, biarlah kita jalani saja bang, sampai dimana dan seperti apa ke depannya biarlah kita tanggung berdua.”

Aku hanya diam sesaat sambil menghela nafas panjang. Mencoba menimbang dan berfikir, jika aku berkeras pada prinsipku dan tidak memenuhi apa yang dia harapkan saat ini maka bisa saja esok dia sakit  dan urusan makin runyam.

“Wah, nekad juga kamu dek, baiklah kalau itu yang adek mau, sekarang acara sedih-sedihnya kita tutup saja, dan acara selanjutnya adalah makan-makan, karena menangis tadi butuh dua piring nasi untuk mengembalikan tenaga, hehee.. Setuju ?” Kataku sambil bercanda.

“Setuju, kalau malam ini saya bisa tiga piring bang.” Jawab Rosa menyambut candaan.

“Waduh, itu lapar apa kesetanan dek ?”

“Kesetanan cintanya abang.” Jawabnya lagi.

“Hahahaa… gawat bakalan nggak bisa tidur abang nanti kalau begini dek.”

Kami pun saling bercanda dan singgah di sebuah warung makan, sebelum akhirnya kami pun pulang ke rumah.

*****

Jam dinding menunjukkan pukul 21:30 , aku telah berada di rumah selesai mandi dan beristirahat, aku baru ingat telah berjanji untuk menelpon Rani tadi. Ah kenapa juga tadi aku berjanji. Sebaiknya aku telpon dia sebentar saja setelah itu tidur.

“Hallo assalamualaikum.” Kataku ketika Rani mengangkat telpon dariku.

“Waalaikumsalam, hallo juga, sudah di rumah ya bang ?”

“Iya dek Rani, ini saya baru selesai mandi, tadikan janji mau telpon balik, sempat ragu tadi mau telpon takut ganggu seandainya tadi dek Rani sudah tidur.”

“Belum kok bang, kan nungguin telpon dari abang hehee..” Jawabnya entah serius atau hanya bercanda.

“Ah dek Rani bisa saja.”

“Eh iya bang, tadi si Arman banyak cerita tentang abang, katanya abang itu jago main alat musik drum, kapan-kapan main kesini bang, ada studio musik dekat rumah saya.”

“Ah Arman terlalu membesar-besarkan itu dek, abang cuma sopir angkot, paling cuma bisa gebuk-gebuk stir mobil sama ban serep, kalaupun kemarin pernah belajar main drum mungkin sekarang sudah lupa caranya, karena sudah lama tidak pernah belajar lagi hehee..”

“Hmm, benar kata Arman abang itu orangnya suka merendah, eh iya bang ngomong-ngomong tadi saya kebetulan isi pulsa dan sekalian saya isi pulsa bang Rio, sudah masuk belum pulsanya ?” Kata Rani.

“Oh, ya ampun.. iya tadi ada pulsa masuk, ternyata yang kirim dek Rani, aduh dek kok repot-repot kirim pulsa ke abang.”

“Tidak apalah bang, tadi bang Rio tidak mau ambil ongkos kami bahkan abang membelikan kami air minum di jalan tadi, anggap saja pulsa tadi hadiah dari saya bang, maaf kalau bang Rio tersinggung.”

“Iya tidak mengapa dek, saya terimakasih sudah diberi hadiah, semoga rejekinya lancar, amiin.”

Kami pun ngobrol tanya jawab hingga tidak terasa telah hampir satu jam. Rani termasuk cewek yang suka terus terang, pemberani dan enak diajak ngobrol.

Karena waktu sudah semakin malam akhirnya kami pun mengakhiri obrolan untuk beristirahat tidur.

*****

Hari berganti dan musim pun berubah.

Hujan cukup deras sore itu, aku sedang duduk istirahat di sebuah bengkel mobil, hari itu aku sedang mengganti beberapa onderdil mobil yang perlu diperbaiki dan ganti oli.

Aku sedang menunggu perbaikan mobilku yang sebentar lagi selesai sambil menunggu hujan reda.

Di tengah lamunanku, pikiranku terlintas bayangan tentang Rosa.

Sejak Rosa menyatakan telah menerima cintaku, maka sejak itu kami menjalin hubungan sebagai kekasih. Tidak terasa hampir setahun sudah kami lewati.

Aku tidak tau seperti apa ke depannya hubungan yang kami jalani itu, sebuah hubungan asmara dalam perbedaan agama. Aku tidak mungkin terus-terusan larut dan tenggelam dalam cinta seperti itu. Di sisi lain aku tidak ingin merusak suasana hatinya.

Ah, semua ini salahku juga, kenapa aku main ungkapkan cinta yang sembarangan.

Aku tidak mungkin melabrak aturan dan pembatas yang sakral dalam keyakinanku, untuk bisa bersama ke sebuah ikatan pernikahan, satu di antara kami haruslah rela pindah agama.

Pikiranku pun kemudian terlintas tentang Rani. Gadis itu sangat baik padaku, terkadang aku merasa tidak enak hati karena sering diberi kejutan hadiah olehnya.

Rani ternyata berasal dari keluarga yang kaya-raya. Entah apa yang membuatnya mau dekat dengan orang sepertiku.

Melihat diriku, aku merasa biasa saja, wajahku terbilang tidaklah terlalu tampan. Tubuhku pun tidaklah berotot seperti kebayakan pria macho.

Lamunanku terhenti ketika seorang mekanik bengkel menghampiri.

“Mobilnya sudah siap mas, silahkan diperiksa lagi.” Katanya sambil melangkah menuju tempat cuci tangan.

Hujan berangsur reda, setelah cek ulang dan semua beres aku pun mengeluarkan mobil dan berlalu meninggalkan bengkel itu.

*****

Jam dinding menunjukkan pukul 17:00 , aku sedang mencatat pembukuan anggaran kendaraan di ruang depan dalam rumah kontrakanku.

Bila berada dirumah aku selalu membiarkan pintu rumah terbuka lebar agar sirkulasi udara lebih segar.

Cukup lelah mataku fokus sedari tadi menulis, aku menoleh ke arah pintu dan baru menyadari ada seseorang yang sedang duduk di depan pintu. Dan entah telah berapa lama ia duduk disitu.

“Eh, mama kok duduk di pintu ? duduk di dalam saja sini ma.” Kataku ketika menyadari siapa yang duduk di pintu rumahku itu.

Ia adalah ibunya Rosa yang telah lanjut usia, rumahnya tepat di depan rumahku. Aku telah menganggapnya seperti orang tua sendiri.

“Mama biar duduk di sini saja, kamu kok sudah pulang kerja jam segini ?”

“Iya ma, tadi mobilnya habis dari bengkel, badan kotor kena oli, jadi saya pulang saja untuk mandi,”

“Oh begitu, mama lagi duduk di sini melihat para tetangga kita tuh pada jajan bakso.”

“Mana ma ? Memangnya ada tukang bakso ?” Kataku kemudian melihat keluar dari pintu rumah.

Benar saja, tampak beberapa ibu-ibu dan anak-anak sedang memesan bakso gerobak.

“Mama mau makan bakso ?” Kataku menawarkan, ia lalu mengangguk.

Aku pun menghampiri gerobak itu dan memesan bakso.

Tidak beberapa lama kemudian pesanan bakso pun datang, kami makan bakso bersama di teras rumah.

“Mama suka kalau penjual baksonya yang ini, baksonya enak dan porsinya banyak.” Ibunya Rosa berkata sambil menyendok dan mengaduk mie dalam mangkok bakso itu.

Kami berbincang-bincang cukup lama dan panjang lebar, ibunya Rosa banyak bercerita tentang Rosa masih kecil.

Saat itu Rosa berusia lima tahun ketika papanya meninggal dunia, Rosa adalah anak paling kecil dari tiga bersaudara. kedua kakak perempuan di atasnya sudah berusia dewasa saat itu.

Rosa menangis sambil memeluk boneka ketika melihat kakak-kakaknya bertengkar dan bertikai memperebutkan harta warisan satu tahun setelah papa mereka tiada.

Semua harta keluarga habis terjual oleh kedua kakaknya itu setelah mereka semua menikah dan pisah rumah. Tinggalah Rosa kecil dan ibunya berdua menempati sebuah rumah sewaan yang sempit.

Rosa termasuk gadis kecil yang ceria dan cerdas, tapi sayang ibunya tidak mampu meneruskan pendidikan Rosa untuk kuliah karena ibunya sakit-sakitan dan tidak mampu lagi untuk bekerja.

Rosa sempat sukses merintis usaha dan membangun rumah untuk ibunya. Tapi lagi-lagi kakak-kakanya datang dan menjadi penyebab Rosa bangkrut dan keadaan memburuk.

Rosa harus membiayai sendiri perawatan ibunya yang di rawat di rumah sakit karena serangan jantung, hingga semua tabungan yang dimilikinya habis, sampai akhirnya mereka pindah rumah dan tinggal di tempat yang sekarang.

“Rosa sama sekali belum pernah dekat dengan seorang pria sampai saat ini kecuali kamu.” Kata sang ibu bercerita.

*****

Hari berganti, pagi itu suasana sedikit berkabut, seperti biasa aku menyalakan dan memanaskan mesin mobil untuk bersiap berangkat kerja.

Tapi tidak seperti biasanya, Rosa pagi itu belum terlihat keluar dari rumahnya, biasanya ia sudah standby dan bersiap berangkat kerja bersama.

Aku membuka Hp untuk menelponnya, tapi aku baru mengetahui ada pesan masuk darinya kalau hari itu dia libur dan tidak ikut berangkat kerja bersama.

Oh, ya sudah kalau begitu, gumamku dalam hati, aku pun membalas pesannya dan segera naik ke mobil untuk meluncur berangkat pergi bekerja.

Siang itu, di Rumah Rosa tengah berkumpul beberapa tamu dan kerabat keluarga yang datang berkunjung, terlihat beberapa anak kecil bercanda ria di depan pintu rumahnya.

Hari itu adalah peristiwa di mana kisah ini akan berakhir. Siang itu paman Rosa yang telah lama tinggal di luar negeri pulang ke tanah air.

Pamannya itu adalah adik kandung dari almarhum papanya Rosa. Pamannya datang menemui ibunya Rosa untuk memberi kabar bahwa masih ada simpanan harta dari almarhum papanya Rosa yang disimpan oleh pamannya selama ini.

Pamannya sengaja menyimpan dan mengelola harta ayahnya itu untuk masa depan Rosa dan hari tua ibunya.

Pamannya pun telah menyiapkan sebuah rumah di luar kota untuk Rosa dan ibunya. Pamannya itu juga meminta Rosa untuk bekerja pada salah satu perusahaan yang masih ada saham almarhum papanya.

Karena itulah Rosa tidak bekerja hari itu, pamannya telah memberi kabar malam tadi bahwa pamannya akan datang dan memberitakan hal yang penting.

Pamannya mengajak Rosa dan ibunya untuk survey ke luar kota melihat rumah baru ibunya itu dan mempersiapkan semua keperluan mereka.

Tiga hari mereka berada di luar kota. Rumah kontrakan Rosa tertutup rapat tidak berpenghuni untuk beberapa hari. Rosa sempat menelponku dan memberi tau kalau ia akan ke luar kota untuk beberapa hari.

Tibalah hari perpisahan itu, hari keempat setelah Rosa kembali ke rumah kontrakannya.

Malam itu aku pulang kerja dan baru sampai di rumah. Setelah memarkir mobilku, Rosa datang menghampiriku dan mengajakku bicara ke tempat yang agak sepi.

“Bang, besok saya sudah tidak lagi bekerja di kota ini dan akan pindah rumah ke luar kota, ada sesuatu yang harus kita selesaikan malam ini.” Rosa berkata sambil menundukkan wajah.

Ia menceritakan panjang lebar tentang kedatangan pamannya dan semua rencananya ke depan.

Malam itu kami harus mengambil keputusan, Rosa memintaku untuk menikahinya dan memintaku mengikuti agamanya.

Semua itu tidak mungkin aku lakukan, aku tak bisa memenuhi permintaannya itu.

“Maafkan abang dek, abang hanya akan menikah sebagai muslim, sejak awal kita telah berkomitmen dan sama-sama tau ke depannya akan seperti ini, sebagaimana yang pernah adek katakan dulu apapun yang terjadi akan kita tanggung berdua, kita telah bermain api dan sekarang telah tiba waktunya kita harus mengakhiri semua yang telah kita mulai.” Kataku sambil menatap wajahnya.

Rosa tampak mengeluarkan air mata, hidung dan bibirnya bergerak-gerak menahan tangis, tapi akhirnya derai air mata itu tumpah juga. Ia menubruk dan memeluk erat tubuhku, aku hanya bisa diam mematung dan membiarkan ia menangis melepaskan semua gejolak dihati, agar esok hari ia bisa ikhlas melepas cinta itu pergi.

Akupun terasa perih, bagai dikuliti dinding hatiku ini, tetapi aku harus bisa menerima kenyataan dan tetap melanjutkan apa yang seharusnya aku lakukan.

“Abang hanya bisa berterima kasih atas semua yang telah kita lalui bersama, biarlah dirimu menjadi kenangan yang pernah ada, percayalah  kebahagiaanmu kemarin akan bertukar dengan kebahagiaan yang lain di esok hari, selamat jalan dek, kita berpisah “Karena kita berbeda.”

– SELESAI –

Lanjutan cerita ini akan bersambung pada kisah yang lain dalam judul :

Rani

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai