Kehidupan “ber” Agama

Oleh : Rudi Skay | Sabtu, 23 Oktober 2021

Rudiskay.data.blog – Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum wr.wb.

“Tulisan ini bukanlah bertujuan untuk menasehati apalagi menghakimi siapapun, bukan pula untuk menimbulkan perdebatan, tapi sekedar menuangkan pemikiran dari sudut pandang pribadi. Tentu boleh ya ?”

*****

Bisa dibayangkan bila manusia hidup tanpa agama. Perhitungan saya akan terjadi kekacauan bahkan kepunahan karena tidak ada system yang mengatur perilaku dan etika sebagai pedoman hidup.

Manusia akan hidup seperti hewan yang saling baku hantam tanpa arah, berebut memperturutkan ambisi dan nafsu, lalu hancur dalam kebinasaan.

Di jaman sekarang saja yang mana setiap manusia sudah  menganut agama dan mempunyai hukum, tapi masih saja banyak kejahatan dan pelanggaran yang terjadi, bahkan persaingan untuk saling menghancurkan.

Kenapa bisa terjadi ? Mari kita urai pelan-pelan.

Bicara Agama, bila didefinisikan agama adalah system yang mengatur kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan, dengan tata kaidah yang berhubungan dengan budaya dan tuntunan hidup, yang mengatur hubungan sesama manusia dan alam semesta.

Lalu sejak kapan seseorang itu menganut sebuah agama? Secara umum agama itu menempel ketika seseorang baru lahir dan mengikuti agama orang tuanya, sebut saja sebagai agama keturunan.

Setuju ?

Belum pernah saya dengar seorang bayi lahir lalu berkata “Mama agama saya nanti biar saya pilih sendiri.”

Nah, setelah manusia dewasa dan mampu berfikir secara realistis, barulah dengan menggunakan logika yang sehat, tentu akan timbul pertanyaan-pertanyaan pada diri manusia secara pribadi.

Benarkah agama yang saya anut atau saya imani selama ini ? Siapa Tuhan yang selama ini saya sembah ? Darimana asalnya ajaran dan kitab yang selama ini saya percayai ? Bagaimana dengan agama yang lain ?

Bila kita bisa mengklaim sesuatu itu benar atau salah, logikanya kita harus mempunyai dasar dan data sebagai pembuktikan kebenaran ataupun kesalahannya.

Bagaimana bisa kita meyakini sesuatu itu dianggap benar tanpa proses mempelajari ataupun mendapatkan bukti kebenarannya.

Maka tentulah kita perlu mencari sumber data informasi yang valid melalui riset ataupun observasi dan sebagainya agar memenuhi jawaban dari sebuah kebenaran, setidaknya untuk menjawab semua keraguan dalam diri sendiri.

Kita ambil sebuah contoh, ketika seseorang menjelaskan bahwa kopi itu pahit, tentu saya akan percaya dan yakin bila saya telah membuktikannya sendiri dengan cara merasakannya langsung dengan kata lain coba meminum kopi tersebut. Maka pernyataan kopi pahit tadi kebenarannya terbukti secara langsung dan valid.

Contoh lagi, lalu bagaimana ketika seseorang menjelaskan tentang rasa buah naga ? Manis atau pahit dan sebagainya, saya tidak tau kebenarannya karena belum merasakan dan belum membuktikannya.

Mungkin saya akan percaya penjelasan tentang buah naga tadi dari orang yang terpercaya walau saya tidak tau rasanya, tetapi keyakinan saya tentulah tidak kuat karena masih terselip keraguan didalamnya.

Tingkat percaya dan keyakinan itu ada levelnya, dan level yang tertinggi adalah keyakinan yang didapat dari merasakan atau mengalaminya secara langsung.

Masa iya sih, kita percaya dan meyakini sesuatu cuma karena benar menurut kata orang atau karena ikut-ikutan.

Saya harap pembaca sedikit santai, duduk yang manis dan siapkan segelas kopi agar jangan salah paham. Karena pemikiran saya mungkin menjadi agak liar.

Di negara kita ada beberapa agama, yang setiap orang boleh menganut dan menjalankan ibadahnya menurut keyakinan dan kepercayaan masing-masing, tanpa ada paksaan. Tanpa boleh menghina satu dan lainnya.

Sebagai ilustrasi, seandainya saya dihadapkan sebuah pertanyaan seperti ketika ujian di waktu sekolah, yang jawabannya adalah pilihan antara A, B, C atau D.

Dan saya harus memilih satu jawaban yang benar. Tentu dari semua jawaban itu logikanya tidak mungkin semua jawaban tadi benar atau tidak mungkin semua jawaban itu salah.

Nah, lalu bagaimana bisa saya menjawab pertanyaan itu dengan benar, kalau saya tidak memahami apa yang ditanyakan, apalagi tidak mengerti definisi dari semua pilihan jawaban yang ada. Maka jadilah jawaban itu hanya tebak-tebak saja atau mencontek jawaban teman.

Lalu, bagaimana mungkin saya akan beriman (yakin) kepada Tuhan apabila saya tidak mengetahui siapa itu Tuhan ? di manakah Tuhan ? seperti apa Tuhan ? apa bukti keberadaannya? Dan lain sebagainya. Dalam artian apakah saya sudah berkenalan langsung pada Tuhan ? Apakah manusia bisa berkomunikasi dengan Tuhannya ?

Bila disuruh ber”Saksi” tentang Tuhan, apa yang saya saksikan ?

Dan masih banyak pertanyaan dalam mencari sebuah kebenaran untuk menjadi keyakinan.

Sebelum mengenal Tuhan, apakah saya sudah mengenal diri saya sendiri, siapa saya ? Sebelum kita bertanya mana Tuhan ? Coba kita tanyakan dulu dimana saya dan dimana Anda ? Bila Anda menepuk dada berkata ini saya, itu bukan Anda tapi dada Anda.

Bila Anda berkata inilah saya yang bicara, itu bukan Anda, itu adalah suara Anda, nah jadi mana Anda sesungguhnya ?

Apakah Anda sejatinya terlihat ? Yang terlihat hanyalah fisik Anda Saja, dan fisik hanyalah sarang pembungkus saja. Untuk mengenal diri kita sendiri saja kita butuh pengetahuan apalagi mengenal Tuhan.

Bicara Agama, tentu kita bicara tentang Tuhan. Akal logika manusia terbatas dan tidak mampu untuk menemukan Tuhan.

Jangankan untuk melihat Tuhan, melihat matahari saja mata manusia tidak akan kuat.

Manusia memiliki alat atau indera untuk menerima kebenaran informasi. Seperti mata, telinga, hidung dan sebagainya. Dan sebuah kebenaran tidak selalu harus dibuktikan dengan penglihatan mata atau logika pikiran saja.

Contoh lagi, untuk membuktikan kebenaran rasa cabai yang pedas, apakah Anda memakai mata atau akal sebagai alat pembuktian ? Tentu anda akan memakai alat lain yaitu indera perasa, atau lidah Anda.

Contoh lagi, untuk mengetahui apa itu kentut, yang menjadi alat untuk pembuktian adalah hidung dan telinga. Bukan mata atau akal logika.

Lalu, alat apa pada diri manusia yang mampu menjangkau bahkan dapat berkomunikasi dengan Tuhan ?

Alatnya adalah “Qalbu.”

Bagi umat beragama, kisah-kisah, keajaiban, hubungan seorang hamba dengan Tuhannya kadang-kadang tidak untuk dibuktikan secara faktual.

Yang lebih dipentingkan adalah aspek teologisnya. Cukuplah pengalaman spiritual seseorang itu menjadi rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Karena ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara kasat mata (metafisika).

Apabila kita menganut agama karena ikut-ikutan saja, atau terima beres yang penting beragama. Tentu dalam beribadah akan terasa berat dan malas karena ada keterpaksaan yang sifatnya kewajiban.

Sebagai manusia tentu kita tidak akan pernah bisa lepas dari salah dan dosa.

Namun “Sebatas mana” kita mampu menekan dan memperkecil dosa dan kesalahan itu dengan berpegang pada ajaran agama yang kita imani sepanjang perjalanan hidup hingga kematian menjemput.

Proses manusia mencari tuhan itu sudah ada sejak jaman dahalu, di mana manusia masih menyembah patung berhala, batu, matahari, dan apapun yang dianggap mereka sebagai Tuhan, sampai manusia mengenal agama seperti sekarang.

Dan semua orang boleh bebas menganggap agama yang dianutnya adalah agama yang benar menurut keyakinannya, dan tidak seorang pun boleh menghina agama lain, semua orang bebas menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya masing-masing. dan itu adalah bentuk toleransi beragama agar tercipta kerukunan dan kedamaian antar sesama umat beragama.

Sebagaimana dalam alquran surat Al Kafirun ayat 6 yang berbunyi “lakum dinukum waliyadin” yang artinya “bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”

Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”):

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” 

Pasal 28E ayat (2)  UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

Demikian saja tulisan singkat ini, tentulah saya pun tidak lepas dari kesalahan, mohon maaf jika ada kekeliruan dan kekhilafan, kepada Tuhan saya mohon ampun.

wabillahi taufik wal hidayah wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai