Mario (Bagian 3)

Cerita Bersambung – Karya Rudi Skay – Serial Mario industri Bagian Ke-3

“SAYA butuh pendapat darimu Luik, sepertinya ada sesuatu yang salah pada diriku, saya harap engkau mau memberikan pandangan yang dapat menyelesaikan persoalan dan mencairkan kebekuan dalam pikiranku Luik.”

“Santai saja Mario, nikmatilah dulu kopimu, semua akan baik-baik saja, mari bersulang untuk pertemuan kita.”

Mereka berdua bersulang dan menyeruput kopi yang ada di gelas masing-masing.

“Hmm.. sudah lama saya tidak minum kopi senikmat ini Luik, apakah kopi ini juga hasil kebunmu Luik ?”

“Oh.. tentu saja iya Mario, apapun yang kita inginkan di sini tinggal kita tanam, hutan ini bagaikan surga Mario.” Kata Luik menjelaskan.

“Apakah engkau tidak pernah menderita sakit selama tinggal di hutan ini Luik ?”

“Di sini saya menggunakan beberapa tumbuhan hutan sebagai obat, saya pernah belajar mengenali jenis-jenis daun dan akar yang berkhasiat sebagai obat di hutan ini.”

***

Beberapa tahun yang silam, Luik pernah dipatuk seekor ular berbisa yang mematikan di dalam hutan.

Ketika itu, ia sedang berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di dalam hutan, tiba-tiba seekor ular menyerang dari balik dedaunan rimbun dan tepat mengenai lengan kirinya.

Dalam waktu singkat lengannya membiru dan mulai bengkak, tubuhnya mulai merasa dingin dan merasa pusing, seketika Luik ambruk dan pingsan tidak sadarkan diri.

Namun Luik masih beruntung dan bernasib baik, tak lama berselang lewat seseorang wanita yang melintasi jalan setapak itu.

Wanita itu mengenakan caping di kepalanya, dan menyandang sebuah tas yang terbuat dari anyaman bambu. Wanita itu adalah seorang tabib yang sedang mencari daun dan akar sebagai bahan untuk obat.

Wanita itu menghentikan langkahnya ketika menemukan seseorang manusia dengan tubuh tergeletak di atas tanah di tengah jalan setapak itu.

Perlahan ia mendekat dan berdiri mengamati tubuh Luik, ia coba menggoyang-goyang tubuh itu dengan ujung kakinya, namun tubuh Luik tetap tidak memberikan respon apa-apa.

Wanita itu lalu duduk dan mulai memeriksa denyut nadi di leher dan di pergelangan tangan Luik. Ia pun sempat melihat bekas gigitan bisa ular yang ada di lengan Luik.

“Hmm.. dia masih hidup, ternyata dia baru saja terkena racun ular.” Gumam wanita itu pelan.

Dengan cepat ia mengeluarkan beberapa bungkusan yang ada di dalam tas yang ia bawa, lalu meracik beberapa daun serta bahan lainnya kemudian ia tempelkan di atas luka gigitan ular di lengan Luik.

Setelah itu ia menebas beberapa ranting pohon kecil dan mengambil beberapa daun lebar untuk membalut luka Luik.

Lengan Luik diikat dengan tali dari akar dan ditopang oleh beberapa ranting pohon kecil, seperti terlihat mengobati patah tulang.

Beberapa jam berlalu, Luik mulai tersadar dan mulai membuka kedua matanya. Ia tersentak kaget setelah melihat ada seseorang di sampingnya, Luik cepat duduk mengambil sikap waspada sambil memandang sekeliling.

Luik merasakan lengannya sedikit nyeri dan mendapati lengannya kaku karena di balut potongan ranting pohon.

“Apa yang telah terjadi ? dan Siapa nona?” Tanya Luik kepada wanita itu.

Wanita itu tersenyum lalu menjawab. “Lengan Anda jangan dulu banyak bergerak, karena Anda baru saja terkena racun gigitan ular berbisa.”

Luik baru teringat bahwa ia telah di patuk ular.

“Apakah nona yang telah menolong saya dan mengikat luka di lengan saya ini ?”

“Saya tadi kebetulan lewat dan menemukan Anda tergeletak di tengah jalan ini.”

“Saya mengucapkan terimakasih banyak atas pertolongan nona, mungkin saya sudah mati bila tidak ada nona tadi, perkenalkan nama saya Luik, saya penjaga di hutan ini.” Ujarnya sembari menjura hormat kepada wanita tersebut.

“Anda tak perlu berterima kasih kepada saya, karena hidup dan matinya seseorang bukan saya yang menentukan, saya hanya berusaha sebisa saya untuk mengobati Anda.”

“Nona sangat rendah hati sekali, kalau boleh saya tau siapakah gerangan nona ini, dan apa yang nona lakukan di dalam hutan ini ?”

“Saya Liu Fung, saya adalah seorang tabib dari desa karangwesi, saya di sini bermaksud mencari beberapa bahan obat-obatan dari jenis-jenis tumbuhan yang ada di hutan ini, dan kebetulan saya bertemu Anda sebagai penghuni di sini maka sepatutnya saya meminta izin dari Anda untuk mengambil beberapa tumbuhan di hutan ini sebagai obat.”

“Oh, silahkan saja nona, hutan ini adalah milik semua orang yang mau merawatnya, dengan senang hati saya siap membantu nona Liu untuk mencari tumbuhan di sini, sedikit banyak saya tau seluk-beluk hutan ini untuk memandu nona agar terhindar dari tempat-tempat yang berbahaya di hutan ini.”

“Terimakasih Anda bersedia membantu saya, tapi sebaiknya Anda butuh istirahat untuk memulihkan lengan yang terkena racun ular.”

Luik menatap lengannya yang lurus kaku terbalut ikatan ranting itu.

“Kalau begitu singgahlah nona di pos saya untuk sekedar minum teh atau kopi sebagai rasa terimakasih dan rasa hormat saya, pos saya tidak terlalu jauh dari sini.”

“Hmm.. baiklah, mungkin sekalian saya juga perlu memberi tau ramuan dan perawatan lanjutan untuk menyembuhkan luka di lengan Anda.”

“Terimakasih nona Liu, kalau begitu mari silahkan nona.”

Mereka akhirnya beranjak dan melangkah berlalu dari tempat itu.

Sejak pertemuan tabib Liu Fung dan Luik di hutan itu, setiap pagi tabib Liu pergi ke hutan itu mencari daun dan akar obat ditemani Luik. Setelah siang menjelang tabib Liu baru pulang ke desanya untuk mengobati penduduk yang sakit.

Semenjak terkena gigitan ular, tubuh Luik menjadi kebal terhadap gigitan ular berbisa lainnya, racun ular itu seakan telah memberikan semacam vaksinasi ke dalam tubuhnya.

Luik banyak belajar dari tabib Liu dan mencatat semua jenis-jenis tumbuhan obat sampai ia hafal di luar kepala.

Tak hanya itu, lambat laun kedekatan Luik dan Liu Fung menumbuhkan benih-benih cinta asmara yang tersimpan di hati mereka.

Luik terpikat oleh kelembutan sikap dan paras cantik Liu Fung, dan sebaliknya Liu Fung kagum pada sosok Luik yang cerdas, sederhana dan berwajah tampan.

Namun keduanya harus berpisah karena Liu Fung harus kembali ke negeri asalnya untuk mengobati gurunya yang sakit keras. Desa karangwesi seakan kehilangan sosok tabib yang sangat berjasa, begitu juga dengan Luik sangat merasa kehilangan seseorang yang sempat menabur cinta di hatinya.

*****

“Wah, ceritamu membuatku tersentuh Luik, tapi saya yakin suatu saat nona Liu Fung akan kembali lagi ke sini.” Kata Mario setelah mendengar cerita Luik.

“Saya akan merasa sangat bahagia bila bisa bertemu lagi dengannya Mario, tapi sudahlah.. sekarang saya akan memberikan solusi dan cara untuk mengatasi penyakitmu itu Mario.”

“Terimakasih Luik, apa saja program yang harus saya jalankan, saya siap mengikuti semua arahanmu Luik.”

“Baiklah Mario, mari kita mulai membuat program, yang pertama adalah fokus pada kesehatanmu, engkau setiap hari harus bangun pagi dan mencari jenis-jenis tumbuhan sebagai obatmu, saya akan tunjukkan nanti semuanya. Yang kedua engkau harus berlatih bertahap sesuai konsep yang nanti saya ajarkan.”

“Siap Luik, sepertinya saya sudah tidak sabar ingin cepat sembuh.”

Maka keesokan harinya, di saat mentari pagi mulai bersinar, diringi aneka ragam kicau burung dan kokok ayam hutan, mulailah Mario menjalankan semua arahan Luik. Hari pertama ia ditemani Luik mencari jenis-jenis bahan tumbuhan untuk obatnya, dan hari-hari berikutnya ia telah memahami dan bisa mencari sendiri bahan obat itu.

Setiap hari Mario berlatih fisik dan pernafasan yang di ajarkan Luik. Setiap sore ia olah raga ringan, seperti berlatih berlari-lari kecil dan gerakan-gerakan khusus sebagai terapi.

Hingga enam bulan berlalu, tubuh Mario mengalami perubahan yang cukup drastis, penyakit batuknya perlahan sembuh dan badannya mulai tampak padat berisi, raut wajahnya pun kembali berseri dan terlihat lebih muda.

Zat-zat pada daun dan akar obat yang masuk ke dalam tubuhnya berhasil meremajakan sel-sel tubuhnya yang rusak. Mario kini kembali energik dan kembali gagah.

Suatu malam, Mario duduk sendiri dan merenung. Suara jangkrik dan lolongan anjing hutan seperti menjadi irama yang rutin mengisi keheningan malam di hutan itu, Ia kembali terbayang keluarganya, rasa rindu menyusup di hatinya, rasa kecewa dan sedih kembali menyayat luka di jiwa.

“Ah ternyata engkau belum tidur Mario, biasanya engkau telah terkapar tidur mendengkur jam begini.” Kata Luik yang berjalan dari arah samping rumah setelah memerika semua ternak dan unggasnya.

“Saya sulit tidur malam ini Luik, pikiranku terbayang keluarga dan rindu pada mereka.”

“Itu hal yang wajar Mario, namun menjadi tidak wajar bila engkau terlalu menikmati kesedihan itu.” Kata Luik sambil duduk dan meletakkan senapan yang ia sandang ke atas sebuah meja.

“Entahlah Luik, saya masih menyayangi dan mencintai mereka, rasanya saya ingin mengubah keadaan menjadi seperti suasana yang dulu pernah indah.”

“Engkau telah berhasil fokus pada kesehatanmu Mario, sekarang engkau telah mengalami kemajuan yang lebih baik, tubuh dan kehidupanmu sempat hancur karena potensi dan rasa yang tidak mampu engkau kendalikan, ingatlah satu hal Mario, Cinta itu adalah anugerah yang indah, Cinta itu ada agar tumbuh rasa perduli di antara sesama manusia, dan Cinta itu ada bukan untuk membuat manusia lupa diri dan buta oleh Cinta itu sendiri.”

“Menurutmu apa langkah dan sikap yang harus saya ambil menghadapi masalahku Luik, sepertinya saya sudah tidak mampu berfikir secara sehat karena telah dikuasai oleh segudang kekecewaan dan amarah di dalam diri saya ini Luik.”

“Langkah berikutnya adalah pemusatan diri, engkau harus berhadapan dan menaklukkan dirimu sendiri Mario, engkau harus bertransformasi dari seorang Mario yang dulu rusak sebagai pecundang, menjadi seorang Mario yang aslinya sebagai seorang ksatria, semesta alam telah mengutuk dan membencimu karena engkau telah seperti hewan, kini jadilah manusia sesungguhnya Mario, yang membedakan antara manusia dan hewan itu terletak pada Moral dan Akhlak. Maafkanlah orang-orang yang pernah membuatmu kecewa, kasihanilah mereka karena mereka bereaksi akibat kesalahanmu juga Mario.”

“Saya melakukan semua itu karena desakan kebutuhan Luik, andai saya kaya-raya mungkin saya tidak akan berbuat begitu, mungkin saya hanya akan jadi orang baik-baik saja.”

“Mario, berlian tidak akan menjadi sampah walau di dalam lumpur bahkan terbenam di dasar samudera sekalipun, dalam kondisi apapun janganlah terjual jati dirimu, apa yang sudah terjadi biarkanlah begitu, yang bisa engkau lakukan adalah belajar dari kesalahan dan memperbaikinya dengan cara yang benar, hidup bukan hanya sekedar sepiring nasi dan soal kebutuhan, ada sebuah arti dan tujuan dalam kehidupan ini, baik dan buruk yang kita perbuat maka itu jugalah yang akan kembali pada diri kita, engkau telah melihat dan merasakan sendiri akibatnya sebagai pelajaran.”

“Saya beruntung memiliki sahabat seperti dirimu Luik, entah bagaimana caraku bisa membalas semua kebaikanmu, ruang-ruang cakrawala dalam kepalaku seakan mulai terbuka, engkau adalah saudara bagiku Luik.”

“Ya Mario, kita bersaudara, bagaimana kalau besok kita pergi ke kota untuk cek-up tubuhmu secara medis apakah telah benar-benar sembuh, sekalian saya juga sudah lama tidak melihat wajah kehidupan di pusat kota, bagaimana pendapatmu ?”

“Saya setuju !” Jawab Mario bersemangat.

Bersambung ke Bagian 4

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai